Ijazah Ditahan Perusahaan, DPR Dukung Penerbitan Ulang Ijazah

0 8

JAKARTA (IkkeLA): Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina mendukung inisiatif Gubernur Provinsi Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang memerintahkan penerbitan ulang ijazah milik 31 eks karyawan UD Sentosa Seal, yang sebelumnya diduga ditahan pihak perusahaan. Arzeti mengatakan keputusan ini sebagai bentuk nyata kehadiran negara dalam melindungi hak-hak dasar pekerja.

“Kita menyambut langkah baik yang diambil Gubernur Jawa Timur, Ibu Khofifah, yang memberikan bantuan sekaligus menghadirkan solusi terhadap persoalan yang dihadapi mantan pekerja UD Sentosa Seal. Ini merupakan bentuk keadilan bagi para pekerja,” kata Arzeti Bilbina dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis (24/4/2025).

Seperti diketahui, keputusan Khofifah menerbitkan ulang 31 ijazah karyawan diambil setelah bertemu dengan pemilik UD Sentosa Seal, Jan Hwa Diana, yang sempat menahan ijazah eks karyawan. Dalam pertemuan itu, Jan Hwa Diana mengaku tidak menjelaskan soal tersingkir ijazah karena proses rekrutmen dan hal-hal terkait lainnya ditangani oleh HRD, yang sudah dirinya mengecewakan diri.

Adapun awal kasus ini berawal dari ramainya kasus Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, yang melaporkan Jan Hwa Diana ke polisi dengan kontaminasi nama baik setelah melakukan pemeriksaan mendadak ke UD Sentosa Seal. Armuji melakukan sidak karena adanya laporan dari mantan pekerja UD Sentosa Seal yang mengaku ijazahnya ditahan meski telah mengajukan pengunduran diri. Belakangan laporan ke polisi itu dicabut.

Arzeti mengatakan permasalahan pekerja di UD Sentosa Seal ini tidak boleh berhenti pada penyelesaian kasus semata, melainkan harus menjadi momentum pembenahan sistem ketenagakerjaan secara menyeluruh.

“Sebenarnya kasus seperti di US Sentosa Seal juga sering kita temukan di berbagai perusahaan lain, termasuk di kota-kota besar. Tidak sedikit juga perusahaan bonafide yang masih mencakup terpencilnya ijazah karyawan,” tuturnya.

“Masalah seperti ini menjadi PR bagi pemerintah agar memperketat pengawasan dan penegakan aturan bagi perusahaan yang melanggar regulasi ketenagakerjaan,” imbuh Arzeti.

Arzeti menyebut, pemerintah khususnya Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja Daerah perlu mengambil langkah konkret.

“Penahanan ijazah oleh perusahaan adalah bentuk pelanggaran hak pekerja sipil yang tidak boleh dianggap remeh. Kami meminta Kemenaker dan Disnaker untuk mengawasi perusahaan-perusahaan dengan ketat, jangan sampai hak-hak pekerja dilanggar dan diabaikan oleh pemberi kerja,” urainya.

PEMANTAUAN BERKALA

Lebih lanjut, Arzeti menilai Disnaker Daerah wajib melakukan pemantauan secara berkala terhadap perusahaan. Terutama perusahaan yang mempekerjakan karyawan muda, peserta magang, dan buruh pabrik yang kerap menjadi kelompok paling rentan. Jika ada pelanggaran, perusahaan harus disanksi.

“Perusahaan yang terbukti menahan ijazah harus dikenai sanksi administratif hingga pidana ringan, seperti pencabutan izin usaha sementara atau denda progresif,” papar Arzeti.

Selain itu, anggota Komisi DPR yang membidangi urusan ketenagakerjaan tersebut juga meminta Kemenaker agar segera menerbitkan peraturan atau surat edaran resmi yang secara tegas melarang penghapusan ijazah oleh perusahaan. Menurut Arzeti, aturan itu pun harus dilengkapi dengan mekanisme sanksi tegas dan terukur.

“Negara harus hadir bukan hanya setelah masalah meledak di publik, tapi hadir sejak awal dalam bentuk regulasi yang jelas, pengawasan yang konsisten, dan perlindungan hukum yang kuat bagi pekerja,” imbau Legislator dari Dapil Jatim I tersebut.

POSKO PENGADUAN

Ditambahkan Arzeti, dinas ketenagakerjaan juga perlu menyediakan posko pengaduan tenaga kerja yang responsif dan mudah diakses, serta menjamin perlindungan hukum bagi pelapor.

“Pemerintah harus memastikan bahwa pekerja tidak takut melapor, termasuk ancaman intimidasi atau kompensasi dari pihak perusahaan,” sebut Arzeti.

Selain dugaan terpencil ijazah 31 karyawan, ada dugaan pemotongan gaji yang terjadi di UD Sentoso Seal bila pegawai menjalankan shalat Jumat. Berdasarkan informasi, para karyawan muslim di perusahaan itu tetap menjalankan shalat meski ada potongan gaji.

Disebutkan, para karyawan yang menjalankan Shalat Jumat setiap pekan harus menerima potongan gaji setidaknya 4 kali dalam setiap bulan. Selain potongan salat Jumat, UD Sentoso juga disebut memotong gaji karyawan saat tidak masuk kerja, dengan nilai dua kali gaji per hari sekitar Rp 150 ribu.

“Kita menyayangkan praktik-praktik seperti ini. Perlindungan ibadah adalah hak asasi setiap orang yang harus dilindungi, termasuk para pekerja,” tegas Arzeti.

Terkait ibadah salat di sela-sela waktu kerja, Arzeti menegaskan hal tersebut adalah hak setiap karyawan. Hal itu diatur dalam pasal 80 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan yang sudah diubah menjadi UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan tidak mengubah pasal hak para pekerja dalam beribadah.

“Perlu ditegaskan bahwa beribadah adalah hak dasar yang dijamin UU. Tidak bisa ada alasan produktivitas yang dijadikan pembenaran untuk membatasi kewajiban beribadah,” terangnya.

Arzeti berujar, pembiaran terhadap kebijakan pelarangan ibadah di sela-sela kerja dapat membuka ruang diskriminasi dan pelanggaran HAM di lingkungan kerja. Menurutnya, diperlukan ketegasan dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja terhadap setiap perusahaan yang menerapkan aturan internal yang melanggar hak konstitusional pekerja.

“Negara tidak boleh diam ketika hak pekerja dipangkas secara sepihak oleh perusahaan. Hak beribadah bukan sekedar soal waktu, melainkan tentang penghormatan terhadap martabat manusia yang seutuhnya,” pungkas Arzeti. (dpr.go.id/bch))

Leave A Reply

Your email address will not be published.