“Prosper Lumban Toruan” Melangkah dalam Pengembaraan Abadi

Oleh : M. Ismail Alif

0 70

Dekade pertengahan 80-an, ada peristiwa besar terjadi di kampus tercinta yang berlokasi di jalan LA32, yakni perubahan nama dari sekolah tinggi menjadi institut.

Juga terjadi perubahan gelar. Bila sebelumnya BA untuk sarjana muda dan ada doktorandus untuk gelar setingkat sarjana, berubah menjadi sarjana komunikasi. Sementara Sarjana muda ditiadakan.

Selanjutnya program SKS yang sering diplesetkan “sistem kebut semalam” itu mulai diberlakukan sehingga waktu kuliah dibatasi. Maka tiada tempat lagi bagi sarjana abadi.

Nama sekolah yang didirikan oleh Perhimpunan Mahasiswa  Akademi Wartawan, 5 Desember 1953 oleh sebagian besar orang yang kemudian banyak berhimpun dalam Serikat Penerbit Suratkabar dan belakangan juga di PWI itu,  berdasarkan keputusan Menteri PDK, diubah menjadi Sekolah Tinggi Publisistik (STP) tahun 1976.

STP sering oleh khalayak di ibukota disetarakan dengan IKJ, baik dari sudut  karakter dan keunikan life style mahasiswanya, maupun spesifikasinya yang banyak berdekatan dengan dunia seni dan budaya.

Bedanya di STP kegiatan ekstra kurikuler mahasiswa sudah ditiadakan sejak awal 80-an dan tampak kampus juga emoh menerima bantuan sponsorship.

Meskipun demikian secara historis, juga menunjukan peran para mahasiswanya banyak ikut mewarnai perjalanan kampus yang sering disebut “tercinta”. Hal ini bisa dirasakan di setiap lorong bangunan gedungnya yang ikut disumbangkan para mahasiswanya dengan membawa bata agar bisa menjadikannya satu, setelah sempat terpecah lokasinya, ada di gedung Kanisius (yang menyewa) dan ada di LA32.

Baru pada tahun 1985, STP karena perubahan sistem pendidikan tinggi menjadi IISIP.

Prosper masuk STP tahun 1984. Dia dikenal sebagai mahasiswa yang unik dan aktif, sekaligus tergolong cerdas, terlihat dari hasil IPK pada masa awal kuliahnya yang di atas 3.

Keaktifannya itu ikut mendorongnya masuk ke kelompok pecinta alam Touche yang kemudian berganti nama  menjadi OMPA Tapal di pertengahan 80-an yang kemudian memilih saya menjadi ketuanya.

Boleh dibilang dirinya merupakan partner sekaligus sohib “selapik seketiduran” dalam menjalankan aktifitas organisasi mahasiswa di tengah sterilisasi kehidupan kampus dari segala aktifitas mahasiswa setelah NKK/BKK diberlakukan pemerintah.

Bersamanya, kami sering merancang berbagai kegiatan yang tidak saja sekedar mengadakan jambore mahasiswa dan kegiatan bakti sosial di desa tertinggal, tapi juga kegiatan rehabilitasi penderita Narkotika berkerjasama dengan yayasan Puri Bersama, menggalang kerjasama dengan kelompok lingkungan hidup, seperti WALHI dan YHI dengan mengirim anggota Tapal untuk mengikuti pelatihan lingkungan dan konservasi alam dan latihan climbing sebagai  ekstrem sport. Personalnya juga tak pernah absen mengukuti operasi SAR pencarian pendaki yang hilang di gunung.

Tapal juga ikut melatih FH Trisakti out door activity yang marak saat itu dan menerbitkan buletin Bianglala, sebagai majalah mahasiswa yang pertama publish dan dibagikan di kampus.

Selain lebih menekankan kegiatan perjalanan adventurir ke berbagai wilayah kepada anggota baru Tapal di tengah sistem pemerintahan sentralitas yang berporos Jakarta masih dominan saat itu. Boleh dibilang masih segelintir mahasiswa yang punya kesempatan dan mampu melongok banyak wilayah Indonesia dari dekat saat itu.

Berapa kegiatan pendakian bersama (persami) secara gradual dilakukan di tengah redupnya aktifitas mahasiswa, terutama terkait dengan hari besar nasional seperti Sumpah Pemuda dengan menyelenggarakan upacara bendera di atas gunung Gede – Pangarango.

Juga melakukan perjalanan panjang, seperti penyusuran pantai Pangumbahan, mendaki gunung Rajabasa dan bakti sosial di pulau Sebesi dan perjalanan ke pulau Peucang dan Ujung Kulon yang cukup banyak diikuti mahasiswa IISIP saat itu.

Setelah bergabung di Tapal, Prosper pernah melakukan perjalanan solo ke pedalaman Kalimantan dan sempat dikabarkan hilang di sana sehingga sempat dibuat penggalangan dana dari teman-teman untuk bisa memulangkannya kembali ke Jakarta. Celakanya bukannya pulang, dia malah menambah waktu dan panjang perjalanannya karena cadangan logistik sudah bertambah.

Kembalinya dari sana, kegiatan petualangannya tidaklah surut, melainkan bertambah besar, kalau tak bisa dikatakan maniak.

Saya ingat kami sering membicarakan peta Jawa dan berapa peta topografi gunung untuk saling menunjukan  gunung apa saja yang sudah pernah kami daki.

Bersamanya kami pernah mendaki dua gunung penting di Jawa, yakni gunung Merapi di Yogja dan  sekaligus ke gunung Merbabu di Boyolali, meskipun lintasan itu baru pertama kali kami lakukan dan tanpa penunjuk jalan.

Juga tidak sedikit juniornya yang pernah diajaknya ikut mendaki ke wilayah yang sangat jauh, seperti gunung Leuser, dari Jambi hingga ke Aceh, atau pendakian gunung Rinjani, Lombok hingga berakhir di pulau Sumbawa.

Sekembalinya saya setelah mengikuti ekspedisi internasional di bawah naungan pangeran Charles yang saat itu melibatkan world young adventure dan para scientis di ekspedisi Operation Raleigh  yang melakukan kegiatan eksplorasi di taman nasional Manusela, pulau Seram, Maluku, Prosper mulai menantang dan mendorong untuk melakukan ekspedisi membedah pulau Siberut, Mentawai yang masih terisolir dan terbelakang.

Ekspedisi di pulau Siberut, kepulauan Mentawai ini  diikuti 6 anggota Tapal ditambah 1 simpatisan yang semuanya mahasiswa IISIP. Tentunya dalam persiapannya juga perlu dilengkapi perijinan yang ketat dan logistik yang memadai dari dukungan sponsor dan donatur karena banyak membawa buku-buku pelajaran sekolah, serta memakan waktu yang lebih dari sebulan untuk bisa melongok peradaban purba yang ada di dalamnya pada tahun 1987.

Sekembalinya dari Mentawai entah kenapa rektor mau memfasilitasi kami untuk mengadakan pameran lingkungan hidup dan aktifitas di alam bebas sebagai kegiatan resmi yang diadakan di kampus.

Dari sinilah mulai bermunculan suara untuk membentuk pecinta alam kampus oleh berbagai kelompok yang memiliki hobby melakukan kegiatan di alam terbuka (outdoor activity).

Meskipun bukan dikenal sebagai anak yang banyak bicara, namun Prosper dikenal eksis baik untuk angkatannya, angkatan di atasnya dan terutama dan boleh dibilang menjadi mentor dan sahabat bagi angkatan di bawahnya.

Relasi yang dibangunnya boleh dibilang tanpa sekat sehingga dia dengan mudah diterima dengan banyak orang, baik kelompok yang fokus beraktifitas di alam bebas, maupun kelompok yang menyukai kesenian dan budaya di kampus hingga “para berandalan” yang ada di kampus.

Dia juga mampu membangun jaringan dengan kelompok pecinta alam di luar kampus yang sebagian besar ditemuinya dalam operasi SAR gunung dan berbagai perjalanannya.

Prosper pernah menjajal stamina Norman Edwin dari Mapala UI saat melakukan SAR di gunung Louser dan Ogun, Wanadri saat SAR di gunung Ciremai. Bersama Oni, pendiri Tramp, dirinya pernah bersama melakukan perjalanan di pedalaman Kalimantan.

Dia juga pernah mengajak Palang, mahasiswa universitas Mataram, Lombok yang ditemuinya saat mendaki Rinjani untuk nongkrong di kampus LA32.

Dia pula yang menjalin kerjasama dengan mahasiswa fakultas hukum Trisakti dalam pelatihan cinta alam yang ketua Senatnya saat itu adalah Adhiyaksa yang kemudian sempat menjadi Menpora dalam kabinet presiden SBY.

Semua itu yang membuat sosoknya tidak kesulitan untuk diterima oleh berbagai kalangan yang ada di kampus.

Setelah menyelesaikan studinya di IISIP, Prosper bergabung sebagai volunter bagi para pengungsi korban erupsi gunung Semeru.

Orang yang dikenal “batu dan tahan banting” saat banyak melakukan aktifitas di alam bebas mengalami insiden yang tak terduga.

Dirinya tergelincir saat menyebrang  sungai yang dipenuhi lahar dingin saat melangkah meniti di bebatuan.

Lalu tubuhnya dihanyutkan derasnya arus dengan posisi yang tidak sempurna yakni membelakangi aliran air.

Hal ini tentunya berbeda saat kami juga pernah  dihanyutkan banjir bandang di pedalaman Siberut. Namun saat itu dengan posisi kami menghadap ke depan meskipun arus air demikian derasnya menghanyutkan.

Dalam situasi membelakangi semacam itu, ditambah sulitnya memperbaiki posisi karena  air sudah bercampur lumpur sendimen larva gunung, maka ketika arus membawa dirinya ke kelokan tajam membuat sulit mengantisipasi rintangan di depannya sehingga dirinya terjungkal dan  kepalanya terbentur batu besar yang mengakhiri perjalanan panjangnya menuju keabadian.

Prosper Lumban Toruan merupakan pribadi unik yang pernah hidup di kampus dari pertengahan 80-an hingga awal 90-an, di tengah pamor kampus sedang meninggi (tidak seperti yang terlihat meredup di tengah kompetisi pendidikan tinggi  yang semakin tajam saat ini). Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya artis dan penghibur menjadi mahasiwanya pada saat itu.

Dia banyak membantu saya dalam mengelola kegiatan Tapal dan menginspirasi saya hingga mampu memiliki kesempatan untuk melongok berbagai wilayah Indonesia dari Sabang – Merouke hingga sampai ke ujung perbatasan.

Tentunya juga tak sedikit kawan-kawan yang pernah bertualang bersamanya di alam bebas, terinspirasi dan banyak mendapat coaching darinya. Semua itu ikut menjadi bekal pengalaman hidup yang sulit terlupakan tentunya.

Selamat jalan ke padang pengembaraan abadi sahabat.

Penulis adalah : Dosen di BSI, Sarjana Ilmu komunikasi IISIP Jakarta, Magister Manajemen di Universitas Trisakti dan Magister Ilmu Komunikasi di Usahid. Hoby berpetualang ke penjuru Nusantara

Leave A Reply

Your email address will not be published.