Hukuman Tom Lembong Awalnya Darimana?

0 11

Jakarta IkkeLa32.com 2/8/2025  — Banyak Masyarakat bertanya, siapa yang pertama kali melaporkan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam impor gula. Berdasarkan dokumen resmi, pelapor utama bukanlah pihak eksternal, melainkan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang bertindak setelah menerima audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Audit tersebut menilai adanya kerugian negara senilai sekitar Rp400–578 miliar, yang muncul karena kebijakan impor gula kristal mentah (GKM) tanpa koordinasi formal lintas kementerian. Laporan BPKP inilah yang menjadi dasar hukum bagi Kejagung untuk menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka pada 29 Oktober 2024. (Sumber: BPKP, Kejaksaan Agung) Awal Kasus: Kebijakan Impor yang Menuai Polemik Perkara ini berawal ketika Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada periode Agustus 2015 hingga Juli 2016.

Pada Sumber dokumen Permendag 117/2015, keterangan Kejagung,. Dalam masa jabatannya, Tom memberikan izin impor GKM kepada 10 perusahaan swasta tanpa melalui mekanisme rapat koordinasi lintas kementerian dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, sebagaimana diatur dalam Permendag 117/2015. Seharusnya, impor gula menjadi wewenang BUMN untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan. Namun, kebijakan ini membuka pintu bagi swasta untuk ikut berperan, yang kemudian menimbulkan tuduhan pelanggaran prosedur administrasi.

Menurut Sumber LPEM FEB UI Perhitungan Kerugian Negara BPKP menghitung potensi kerugian negara mencapai Rp578 miliar. Nilai ini didasarkan pada selisih harga antara gula impor yang masuk lewat mekanisme kebijakan Tom dengan harga yang seharusnya berlaku jika prosedur formal dijalankan melalui BUMN. Meski demikian, sejumlah pakar, termasuk Vid Adrison (LPEM FEB UI), menilai metodologi perhitungan BPKP masih bisa diperdebatkan. Menurut mereka, ada kekeliruan dalam membandingkan gula kristal mentah (GKM) dengan gula kristal putih (GKP), sehingga angka kerugian tersebut dinilai tidak mencerminkan kondisi pasar sebenarnya.

Proses Hukum yang Panjang Setelah menetapkan Tom sebagai tersangka, Kejagung membawa kasus ini ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Pada 18 Juli 2025, majelis hakim memutuskan Tom Lembong bersalah dan menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp750 juta. Meski begitu, hakim menolak tuntutan jaksa yang meminta 7 tahun penjara. Dalam pertimbangannya, hakim menilai tidak ada bukti bahwa Tom memperoleh keuntungan pribadi (mens rea) dan menilai sikap kooperatif Tom selama persidangan sebagai faktor meringankan.

Usai vonis, pernyataan resmi  Kuasa Hukum Tom Lembong menyatakan kekecewaannya. Ia menegaskan bahwa kebijakannya bersifat administratif dan tidak ada niat koruptif. Menurut Tom, banyak bukti dan keterangan saksi ahli, termasuk dari mantan pejabat Kementerian BUMN, tidak dipertimbangkan dengan layak oleh hakim. Tim kuasa hukumnya juga menyampaikan niat untuk mengajukan banding. Mereka menilai proses hukum ini sarat tafsir yang keliru, terutama soal kewenangan teknis yang seharusnya melibatkan banyak kementerian.

Di tengah proses banding, kabar mengejutkan datang,  Pengampunan Presiden Agustus 2025,  menyita perhatian publik. Pada 1 Agustus 2025 kemarin , Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pengampunan (abolisi) bagi Tom Lembong. Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi nasional sekaligus pertimbangan atas rekam jejak bersih Tom yang selama ini dikenal sebagai pejabat tanpa kasus korupsi. Dengan abolisi tersebut, hukuman Tom langsung dibatalkan dan hak-hak politiknya dipulihkan.

Beda Pemerintah dan Pakar Hukum memahami Proses Abolisi dan Amnesti 

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai hukum sedang dipermainkan. Kata dia, pemberian amnesti dan abolisi adalah konsekuensi dari peradilan politis. “Hukum sedang dipermainkan. Kalau mau memaafkan Hasto dan Tom kenapa harus begini amat: drama di pengadilan dulu. Kenapa enggak sedari awal saja. Bukankah Kepolisian, Kejaksaan dan KPK di bawah Presiden,” ujar Feri saat dikonfirmasi, Jumat (1/8). Dia memandang keputusan yang dikeluarkan Prabowo tersebut tidak hanya menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi ke depan, tetapi juga bagi isu peradilan yang sehat. “Ini kesempatan para politisi memanfaatkan situasi. Jadi, ujung-ujungnya orang capek dengan segala drama peradilannya, tapi nanti akan ada pahlawan politiknya di belakang layar,” ujarnya.

Dosen hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ menyebut pemberian abolisi dan amensti dalam perkara korupsi merupakan tindakan yang keliru dan harus dikritik. “Amnesti dan abolisi seolah-olah dijadikan alat kompromi politik,” ucap dia.

“Ini perkara korupsi loh ya. Itu mesti ditegaskan. Ini perkara korupsi. Dan rasanya belum ada tuh perkara korupsi yang diberikan amnesti dan abolisi mengingat derajat yang dilakukan. Jadi, keliru itu,” sambungnya.

Senada dengan Pakar Hukum Iata Negara, Bivitri Susanti juga berpendapat pemberian abolisi dan amnesti itu berbahaya untuk sistem hukum Indonesia. Kata dia, langkah ini berpotensi membahayakan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan.

“Dampak jangka panjangnya itu yang berbahaya sekali bagi pemberantasan korupsi, bahayanya pertama berarti pengampunan-pengampunan ini bisa terus diberikan tergantung dari relasi politik dari orang itu, dari terpidananya, relasi politiknya, bisa karena kedekatan personal, bisa juga karena hal-hal yang sifatnya sangat politik seperti yang dilakukan terhadap Hasto,” kata Bivitri seperti dilansir  CNNIndonesia. [Ist]

Leave A Reply

Your email address will not be published.