Menyempurnakan Kemerdekaan Dengan Ideologi Islam
Buletin Kaffah Edisi 406 (21 Shafar 1447 𝙷/15 Agustus 2025 M)
DEPOK IKKELA32.COM 16/8/2025
Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, usia kemerdekaan Indonesia saat ini telah memasuki 80 tahun. Semestinya, dengan usia kemerdekaan yang hampir satu abad, negeri ini telah mencapai kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan. Namun sayang, yang terjadi justru negeri ini didera oleh berbagai persoalan.
Hakikat Penjajahan
Al-’Allamah asy-Syaikh al-Imam al-Qadhi Taqiyudin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, menjelaskan bahwa penjajahan (al-isti’mâr) bukan hanya fenomena masa lampau, tetapi merupakan metode standar (metode baku) yang digunakan oleh negara-negara kapitalis Barat, terutama Amerika Serikat saat ini, untuk menguasai negara-negara lain. Syaikh Taqi melihat penjajahan modern ini mewujud dalam bentuk kontrol secara menyeluruh di bidang ideologi, ekonomi, politik, budaya, hukum hingga pertahanan. Tujuannya untuk mengeksploitasi negara yang menjadi sasaran penjajahan.
Indonesia adalah salah satu contoh dari korban penjajahan modern. Memang benar, Indonesia merayakan kemerdekaannya setiap tahun. Namun, di bidang ekonomi, misalnya, sumber daya alam negeri ini—seperti tambang emas, minyak, gas—telah lama dieksploitasi oleh banyak perusahaan asing seperti Freeport, Exxon Mobile dan Newmont, dll. Celakanya, keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang mengeruk kekayaan alam negeri ini justru dilegalkan melalui undang-undang.
Penjajahan Ideologi
Sesungguhnya setelah lepas dari penjajahan fisik, negeri ini masuk ke dalam perangkap penjajahan ideologi yang lebih berbahaya. Sebabnya, berbagai macam masalah yang kini mendera negeri ini adalah akibat dari penjajahan ideologi, yakni ideologi Kapitalisme yang berakar pada sekularisme. Namun, karena tidak secara langsung memakan korban jiwa, penjajahan ideologi ini terkesan tidak setragis dan sedramatis penjajahan fisik. Padahal penjajahan ideologi dalam wujud dominasi Kapitalisme global ini juga telah menimbulkan penderitaan yang luar biasa, khususnya bagi bangsa ini dan umumnya bagi umat manusia di dunia ini. Anehnya, pemikiran dan cara pandang penjajah itu tetap dipertahankan, terutama oleh para penguasa dan elit-elit politiknya.
Dengan adanya penjajahan ideologi Kapitalisme-sekuler, maka cita-cita para pejuang agar Indonesia benar-benar terlepas dari pengaruh penjajah tak dapat diwujudkan sepenuhnya. Jejak para penjajah justru masih kuat mencengkeram negeri ini.
Pertama, bidang hukum dan perundang-undangan. Hukum yang berlaku di Indonesia masih sekuler. Penjajah Belanda diusir, namun sebagian hukumnya tetap dipakai dan dilestarikan. Pembuatan perundang-undangan juga tidak lepas dari campur tangan asing.
Kedua, bidang ekonomi. Negeri ini dijerat oleh beban utang, khususnya utang luar negeri, dan bunganya yang saat ini telah mencapai ribuan triliun rupiah. Sumber daya alamnya juga dikuasai asing dan aseng.
Ketiga, bidang sosial dan bidang budaya. Berbagai kerusakan budaya dan perilaku telah menjadi fenomena sosial akibat masuknya budaya asing yang sekuler-liberal. Banyak kasus yang menandai kerusakan ini seperti: seks bebas (zina), penyimpangan seksual seperti LGBT, pornografi, korupsi, judi online, aneka kekerasan, dll.
Keempat, bidang politik. Negeri ini masih menerapkan sistem demokrasi-sekuler yang sangat rentan disusupi oleh agenda kepentingan asing melalui para kompradornya. Akibatnya, banyak undang-undang yang dibuat oleh DPR dan peraturan yang dibuat oleh Pemerintah lebih pro-asing daripada berpihak pada kepentingan rakyat negeri ini.
Hakikat Kemerdekaan
Dalam pandangan Islam, kemerdekaan hakiki bermakna keterbebasan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT, Tuhan yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta. Karena itu bagi umat Islam, kemerdekaan bukan sekadar hak yang harus diperjuangkan, tetapi menjadi misi utama risalah Islam itu sendiri.
Jika masih ada manusia menjadi hamba manusia lain maka mereka belumlah dikatakan merdeka. Jika kaum Muslim masih menjadi hamba dari ideologi dan hukum buatan manusia maka mereka masih dalam keterjajahan. Pertanyaannya: Apa itu penghambaan?
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, Allah SWT berfirman:
ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابًا مِنْ دُونِ ٱللَّهِ
Mereka (Yahudi dan Nasrani) telah menjadikan para pendeta mereka dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah (TQS at-Taubah [9]: 31).
Ayat ini ditafsirkan oleh Rasulullah saw. sendiri saat membacakan ayat tersebut kepada Adi bin Hatim, yang saat itu masih beragama Nasrani. Mengomentari ayat tersebut, Adi bin Hatim berkata, ”Wahai Rasulullah, kami tidaklah menghambakan diri kepada mereka.” Namun, Rasulullah saw. bersabda,”Bukankah mereka telah mengharamkan apa saja yang telah Allah halalkan, lalu kalian pun mengharamkannya. Mereka pun telah menghalalkan apa saja yang telah Allah haramkan, lalu kalian juga menghalalkannya?” Adi bin Hatim berkata, ”Benar.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, ”Itulah bentuk penghambaan Yahudi dan Nasrani (kepada para pendeta dan rahib mereka).” (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, 11/417).
Hakikat penghambaan juga tampak jelas dalam sabda Rasulullah saw. yang dituliskan dalam sebuah surat untuk penduduk Najran, yang sebagian isinya sebagai berikut:
أَمّا بَعْدُ فَإِنيّ أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ الله مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَاد وَأَدْعُوكُم إلَى وِلاَيَةِ اللهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ
Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri kalian dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia) (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 5/64).
Misi Islam untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki bagi seluruh umat manusia itulah yang menjadi pengobar semangat juang dan pemantik keberanian para pejuang Islam sekalipun berhadapan dengan musuh yang kuat. Demikian sebagaimana dicontohkan dalam sebuah fragmen dialog antara Jenderal Rustum dari Persia dengan Mughirah bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Pernyataan misi tersebut diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rab’i bin ‘Amir ats-Tsaqafi, utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Ia diutus setelah Mughirah bin Syu’bah dalam Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rab’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’i bin ‘Amir menjawab, sebagaimana ungkapan di bawah ini:
الله ابْتَعَثْنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَة الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ، وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْيَا إِلَى سِعَتِهَا، وَمِنْ جَوْرِ الْأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ الْإِسْلَامِ…
Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Tuhan manusia; dari dunia yang sempit menuju akhirat yang luas; dan dari kezaliman agama-agama yang ada menuju keadilan Islam… (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 2/401).
Mewujudkan Kemerdekaan Hakiki
Momentum tahunan peringatan kemerdekaan negeri ini semestinya bukan sebatas seremonial belaka. Momentum ini sudah saatnya dijadikan sebagai renungan ideologis. Kita harus segera menyadari bahwa negeri ini belum benar-benar merdeka. Negeri ini masih terjajah oleh intervensi ideologi Kapitalisme-sekuler yang telah terbukti menambah masalah dan makin menyusahkan kehidupan rakyat.
Jelas, negeri ini harus melepaskan diri dari ideologi Kapitalisme-sekuler ini. Caranya adalah dengan memperkuat landasan ideologi Islam dan membuang ideologi Kapitalisme sekuler. Islam adalah agama sekaligus ideologi yang akan membawa misi tauhid, yakni misi terbesar agar manusia menghamba hanya kepada Allah SWT semata. Negara yang berlandaskan ideologi Islam juga akan menjadi negara merdeka dan berdaulat karena hanya tunduk dan patuh pada perintah Allah SWT semata, serta menjauhi seluruh larangan-Nya. Itulah takwa.
Allah SWT telah berjanji bahwa keberkahan akan diturunkan jika negeri ini beriman dan bertakwa. Demikian sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka tersebut (TQS al-A’raf [7]: 96).
Sebaliknya, selama ideologi yang bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia, seperti ideologi Kapitalisme-sekuler, terus diterapkan dan dipertahankan, maka selama itu pula akan terus terjadi penjajahan, kesempitan kehidupan di dunia dan maraknya tindak kezaliman. Demikian sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Karena itu negeri ini harus segera kembali pada hukum-hukum Allah SWT. Tentu dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Penerapan syariah Islam secara kâffah ini membutuhkan institusi politik Islam. Itulah Khilafah. Keberadaan Khilafah yang mengikuti metode kenabian (Khilafah ‘alâ minhâj an-nubuwwah) akan mewujudkan kemerdekaan hakiki bagi umat Islam, bukan hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.