Alex dan Frans Mendur Abadi dalam Proklamasi 1945

Fotografer Proklamasi yang Meninggal dalam Sunyi

0 17

JAKARTA IKKELA32.COM 17/82025 — Delapan puluh tahun sudah bangsa ini berdiri tegak dengan semangat perjuangan, pengorbanan, dan persatuan. Kemerdekaan adalah anugerah yang lahir dari darah, air mata, dan doa para pahlawan serta leluhur

Sebagai bangsa dengan megadiversitas budaya, Indonesia memiliki kekuatan besar untuk terus menjaga persatuan dan membangun peradaban. Budaya bukan hanya identitas, melainkan juga kekuatan pemersatu  dan hidup dengan nilai luhur sejarah, dan wariskan semangat kemerdekaan ini kepada generasi mendatang.

Jumat pagi, 17 Agustus 1945, menjadi momentum paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Di halaman rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, Ir Soekarno didampingi Mohammad Hatta membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun, siapa sangka momen sakral itu nyaris hilang tanpa dokumentasi.

Beruntung, dua bersaudara asal Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara, Frans Sumarto Mendur dan Alexius Impurung Mendur, hadir sebagai saksi sejarah. Dengan kamera Leica di tangan, mereka mengabadikan detik-detik lahirnya Republik Indonesia. Ironisnya, meski jasa mereka begitu besar, keduanya justru meninggal dalam kesepian, hampir tanpa penghargaan negara.

Mengabadikan Proklamasi di Tengah Ancaman Jepang Sehari sebelumnya, 16 Agustus 1945, Frans Mendur mendapat kabar dari rekan wartawan Jepang bahwa Proklamasi akan digelar di kediaman Soekarno.

Alex, yang kala itu menjabat Kepala Bagian Fotografi kantor berita Jepang Domei, juga menerima informasi serupa. Keesokan paginya, keduanya berangkat dengan rute terpisah untuk menghindari patroli Jepang. Situasi Jakarta masih mencekam. Jepang sudah menyerah pada Sekutu, tetapi informasi itu belum tersebar luas.

Radio masih disegel, bendera Hinomaru berkibar, dan tentara Jepang bersenjata lengkap masih berpatroli. Setibanya di Pegangsaan Timur sekitar pukul 05.00 WIB, Soekarno masih terbaring lemah karena malaria dan kelelahan usai merumuskan naskah Proklamasi di rumah Laksamana Maeda.

Ia baru bangun sekitar pukul 09.00 WIB. Baca juga: Perjuangan Mendur Bersaudara, Bersenjatakan Kamera Leica, Abadikan Detik-detik Proklamasi Tepat pukul 10.00 WIB, Soekarno keluar dengan didampingi Hatta. Dari secarik kertas, Bung Karno membacakan teks Proklamasi. Sorak pekik “Merdeka!” menggema. Latief Hendraningrat dari PETA mengibarkan bendera Merah Putih, disaksikan para pemuda.

Frans Soemarto Mendur atau yang lebih dikenal dengan nama Frans S. Mendur merupakan seorang fotografer yang lahir pada 16 April 1913 di Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Ia adalah anak kedua dari pasangan Agustus Mendur dan Ariantje Mononimbar.

Sejak usia muda, Frans S. Mendur sudah berada di daerah perantauan. Ia berkelana dari kampung halamannya menuju Surabaya kemudian pergi ke Batavia untuk bertemu dengan sang kakak, Alexius “Impurung” Mendur. Sang kakak inilah yang banyak memberikan ilmu-ilmu seputar dunia fotografi kepadanya sehingga ia mulai tertarik dengan kegiatan potret-memotret tersebut.

Semasa muda, Frans S. Mendur bekerja sebagai wartawan di Java Bode, sebuah surat kabar yang diterbitkan di Batavia (kini disebut Jakarta) pada 1 Desember 1869. Setelahnya, Frans S. Mendur bekerja di surat kabar Asia Raya. Ketika bekerja di surat kabar Asia Raya inilah, Frans S. Mendur bersama sang kakak mendapat kabar mengenai upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia melalui berita yang disiarkan oleh Kantor Berita Domei. Mendengar kabar tersebut, Mendur bersaudara segera bergegas pergi menuju kediaman Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat untuk mengabadikan momen bersejarah tersebut.

Mendur bersaudara itu menempuh jalan yang berbeda ketika menuju ke lokasi pembacaan proklamasi. Kala itu, Frans S. Mendur dengan berbekal kamera Leica dan satu rol film yang ia “pinjam” dari kantor Djawa Shimbun Sha memotret peristiwa bersejarah itu sebanyak tiga kali.

Pertama, saat Soekarno membacakan teks proklamasi bersama Moh. Hatta.

Kedua, ketika Letkon Raden Mas Latief Hendraningrat, Suhud Sastro Kusumo, dan Surastri Karma (SK) Trimurti mengibarkan sang saka bendera merah putih.

Ketiga, foto memperlihatkan suasana pengibaran sang saka bendera merah putih dengan latar belakang kumpulan masyarakat yang berkumpul menyaksikan proklamasi.

Mendur bersaudara merupakan satu-satunya fotografer yang hadir untuk meliput pembacaan proklamasi. Hal ini dikarenakan pembacaan proklamasi berlangsung secara spontan tanpa adanya persiapan khusus. Namun, di tengah proses pengambilan gambar terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Film kamera yang dibawa oleh Alex “Impurung” Mendur disita dan plat-plat negatif miliknya juga dihancurkan oleh tentara pasukan Jepang.

Lain halnya dengan Frans S. Mendur. Ia lebih cerdik dalam menjaga foto-foto hasil jepretannya dengan mengubur plat-plat negatif miliknya di halaman Kantor Asia Raya. Ketika tentara Jepang menggeledah seluruh hasil fotonya, Frans S. Mendur membuat pengakuan kepada tentara Jepang bahwa negatif film miliknya telah dirampas pihak barisan pelopor pendukung Soekarno. Setelah suasana lebih aman dan kondusif, ia mengambil negatif film tersebut dan mencetaknya secara diam-diam di kamar gelap Kantor Berita Domei.

Sehari setelahnya, pada tanggal 18 Agustus 1945, berita mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia dimuat secara singkat oleh harian Asia Raya. Namun tidak ada satu pun foto yang dimuat di surat kabar tersebut. Hal ini merupakan upaya pihak tentara Jepang untuk menghambat penyebaran berita kemerdekaan Indonesia kepada dunia luar. Karya bersejarah milik Frans S. Mendur tersebut akhirnya berhasil dipublikasikan untuk pertama kalinya pada 17 Februari 1946 dalam penerbitan khusus “Nomor Peringatan Enam Bulan Republik” yang diterbitkan harian Merdeka.

Foto-foto mengenai proklamasi dan peristiwa di sekitarnya yang dipotret oleh Frans S. Mendur sejatinya menjelaskan bahwa bukti sejarah secara autentik merupakan fakta yang tidak bisa terbantahkan mengenai peristiwa masa lalu. Selain itu, melalui karya-karya Frans S. Mendur inilah dapat dipahami bahwa proses meraih kemerdekaan hingga terlaksananya pembacaan proklamasi tidaklah diperoleh secara instan melainkan diiringi dengan perjuangan dan pengorbanan dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Ketika tentara Jepang mencarinya, Frans mengelabui dengan mengatakan film sudah dibawa Barisan Pelopor. Enam bulan kemudian, Februari 1946, negatif itu baru bisa dicetak diam-diam di sebuah lab foto. Harian Merdeka pada 20 Februari 1946 menjadi media pertama yang mempublikasikan foto monumental Proklamasi karya Frans Mendur.

Dari Domei hingga Lahirnya IPPHOS Setelah kemerdekaan, para fotografer muda eks Domei mendirikan biro foto di kantor berita Antara. Pada 1 Oktober 1945, BM Diah bersama eks jurnalis Asia Raya merebut percetakan De Unie dan mendirikan Harian Merdeka. Alex Mendur kemudian bergabung ke sana. Setahun berselang, kakak-beradik Alex dan Frans bersama Justus Umbas, Frank “Nyong” Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) pada 2 Oktober 1946.

Berkantor di Jalan Hayam Wuruk 30, Jakarta, IPPHOS mengoleksi 22.700 foto periode 1945–1949, meski hanya 1 persen yang pernah dipublikasikan. Selain dokumentasi pejabat negara, IPPHOS juga merekam kehidupan masyarakat pasca-kemerdekaan secara otentik. Selain foto Proklamasi, Alex Mendur dikenal dengan karyanya yang merekam pidato Bung Tomo di Mojokerto, 1945. Foto itu sering disalahartikan sebagai pidato di Hotel Oranje, Surabaya.

Frans Mendur juga mengabadikan momen Panglima Besar Soedirman dijemput Jenderal Soeharto usai perang gerilya di Yogyakarta, 10 Juli 1949. Foto-foto mereka kerap menjadi rujukan media internasional, meski Mendur bersaudara tetap memilih setia pada Indonesia.

Frans Mendur bahkan pernah bekerja sebagai penjual rokok di Surabaya demi bertahan hidup. Pada 24 April 1971, Frans meninggal di RS Sumber Waras Jakarta dalam kesepian. Alex Mendur menyusul pada 1984, juga dalam kondisi serupa. Hingga akhir hayat, keduanya tidak pernah menerima penghargaan negara.

Bahkan kabarnya, pengajuan pemakaman mereka di Taman Makam Pahlawan Kalibata ditolak. Penghargaan baru datang terlambat. Pada 9 November 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menganugerahkan Bintang Jasa Utama kepada Frans dan Alex Mendur sebagai bentuk penghormatan atas peran mereka dalam merekam sejarah bangsa.

Dari berbagai sumber referensi

vrederberg.id/kompas.com

Tiga Foto Sejarah yang Abadi

Leave A Reply

Your email address will not be published.