“Senja Terakhir Bang Ojol” & “Ketika Negara Melindas, Ibu yang Menangis”
Cerpen : Rosadi Jamani
Cerpen#1 “Senja Terakhir Bang Ojol”
Affan Kurniawan baru saja selesai menunaikan salat Ashar ketika ibunya memanggil dari dapur.
“Fan, makan dulu nak. Jangan buru-buru keluar.”
Suara itu lembut, tapi penuh kasih sayang yang selalu membuat dada Affan terasa hangat. Ia menoleh, tersenyum.
“Nanti ya, Bu. Affan cuma sebentar keluar. Ada orderan dekat-dekat sini.”
Ibunya mengangguk, meski hatinya sedikit gamang. Ia tahu, anak bungsunya itu kerap memaksakan diri. Baru 21 tahun, tapi pundaknya sudah menanggung beban hidup seakan dunia menuntutnya jadi lelaki dewasa lebih cepat. Sejak ayahnya pergi untuk selamanya, Affanlah yang sering menjadi tulang punggung keluarga.
Dengan jaket ojolnya yang sudah pudar warna hijau, ia turun dari rumah kontrakan sederhana di Jatipulo. Senja itu, langit Jakarta berwarna jingga bercampur debu. Jalanan ramai, riuh, seperti menyimpan rahasia besar. Affan tak tahu, sore itu adalah perjumpaan terakhirnya dengan cahaya mentari.
Motor tuanya meraung pelan, menembus jalanan yang mulai padat. Dari kejauhan, ia mendengar suara massa. Teriakan-teriakan keras di sekitar Gedung DPR/MPR. Affan bukan demonstran, ia hanya pengantar rezeki. Tapi Jakarta sedang gelisah. Jalan yang biasanya jadi jalur kerja, kini beralih jadi panggung amarah.
“Lewat mana, ya Allah,” gumamnya pelan, sembari memelankan laju motor.
Ia hendak menyeberang jalan, mencari jalur alternatif. Namun aspal licin, penuh sisa air dan kerikil. Ban motornya oleng. Dalam sekejap, tubuh Affan terpelanting, jatuh di tengah riuh. Ia berusaha bangkit, lututnya luka, napasnya terengah.
Lalu, deru mesin raksasa itu datang, rantis Brimob, seukuran raksasa besi, melaju tanpa kompromi. Orang-orang berteriak.
“Ada ojol di bawah! Ada orang jatuh! Berhenti!”
Suara-suara itu melolong menembus udara, tapi tak ada rem yang ditarik.
Affan melihat bayangan hitam besar itu mendekat. Waktu serasa berhenti. Ia teringat wajah ibunya di dapur, teringat pesan belum sempat dijawab di ponselnya, teringat mimpi sederhana, ingin membelikan kursi roda untuk nenek yang tak bisa berjalan jauh. Air matanya menetes, bercampur debu jalanan.
“Ya Allah, jaga Ibu…” bisiknya pelan.
Detik berikutnya, deru roda baja menutup pandangan. Tubuh muda itu tak sempat beranjak. Hanya jeritan massa yang menggema, membelah langit Jakarta malam itu.
Rekan-rekan ojol berlari, mengangkat tubuhnya yang tak lagi kuat melawan takdir. Mereka bergegas ke rumah sakit terdekat, berharap ada mukjizat. Tapi di lorong dingin rumah sakit, napas Affan berhenti. Senyumnya membeku, meninggalkan kesunyian panjang.
Di rumah duka, ibunya menunggu. Tatapannya kosong ketika kain putih menutupi wajah anak yang semalam masih berpamitan. Tangis pecah, deras, seperti hujan deras yang tak kunjung reda. “Fan, kau belum sempat makan… Kau belum sempat pulang,” isaknya, memeluk tubuh kaku itu.
Para sahabat ojol berdiri dengan mata sembab. Mereka bukan hanya kehilangan kawan, tapi juga cermin perjuangan, seorang anak muda sederhana yang hanya ingin bekerja, namun justru pulang sebagai pahlawan tak bernama.
Jakarta malam itu terasa lebih dingin. Asap demo masih mengepul, lampu jalan masih menyala, tapi satu cahaya padam untuk selamanya. Nama Affan Kurniawan tinggal kenangan, tapi luka yang ia tinggalkan akan terus hidup di dada mereka yang mencintainya.
Mungkin, di langit, ia kini sedang mengantar pesanan terakhirnya, sebuah doa, agar ibunya tetap kuat, dan negeri ini tak lagi memakan anak-anaknya sendiri. ***
Cerpen #2 : Ketika Negara Melindas, Ibu yang Menangis
Jasadnya telah dikubur. Ibunya masih sulit dihibur. Air matanya terus mengucur. Kasih sayang ibu yang tak bisa diukur. Inilah lanjutan tragedi paling tragis di negeri ini. Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!
Di sebuah kontrakan sempit 3×11 meter di Jakarta, seorang ibu bernama Erlina menjerit. Jeritannya bukan sekadar tangis, tapi doa yang pecah, amarah yang patah, dan cinta seorang ibu yang hancur berkeping. Ia berulang kali mengulang kalimat yang menusuk dada siapa pun yang mendengar, “Anak saya sudah tidak ada!” Suaranya menggema, bukan hanya di ruang sempit rumah duka itu, tapi juga di hati rakyat yang masih punya nurani.
Anak itu bernama Affan Kurniawan, 21 tahun, tulang punggung keluarga. Ia bukan pejabat, bukan jenderal, bukan orang kaya. Ia hanya tukang ojek online yang tiap hari menantang panas dan hujan demi membawa pulang uang untuk makan tujuh orang anggota keluarga. Tapi, ia pergi dengan cara paling tragis, dilindas kendaraan taktis Brimob. Bukan kecelakaan biasa, bukan takdir yang jatuh dari langit, tapi ulah mesin negara yang seharusnya melindungi rakyat.
Bayangkan betapa sakitnya hati seorang ibu melihat anak yang ia lahirkan dengan perih, ia besarkan dengan doa, justru pulang dalam keadaan terbujur kaku, dikawal ribuan ojol dengan jaket hijau. Di depan rumah duka, udara terasa sesak, bukan karena polusi Jakarta, tapi karena tangis yang tak pernah berhenti. Tetangga mencoba menenangkan, tapi siapa bisa menenangkan seorang ibu yang baru saja kehilangan dunia dalam sekejap?
Saat para petinggi datang melayat, Erlina masih menangis. Tangisnya bukan sekadar untuk Affan, tapi juga untuk sebuah bangsa yang tega membiarkan anak-anaknya mati di bawah roda kekuasaan. Tangis itu menjadi simbol, lebih jujur dari pidato presiden, lebih keras dari sirine polisi, lebih tajam dari berita-berita yang dibungkus eufemisme. Tangis ibu adalah bahasa paling murni, dan ketika negara membuat seorang ibu menjerit seperti itu, maka sebenarnya negara sudah gagal.
Kapolri memang datang, memeluk keluarga, meminta maaf. Tapi apa artinya pelukan itu bagi seorang ibu yang kini hanya bisa memeluk bantal kosong di malam hari? Apa artinya kata “usut tuntas” ketika anaknya sudah dikubur di tanah Karet Bivak? Erlina tidak butuh pidato. Ia butuh anaknya hidup kembali, sesuatu yang tidak bisa diberikan negara mana pun di dunia ini.
Lihatlah wajahnya yang sembab, matanya yang bengkak, tubuhnya yang lelah. Seorang ibu kehilangan tulang punggung keluarga, kehilangan anak yang seharusnya menemaninya di hari tua. Kini ia hanya ditemani sepi, ditemani bayangan Affan yang tak lagi pulang. Kita, para pembaca, jangan pura-pura kuat. Bayangkan saja kalau itu anakmu, adikmu, kakakmu. Apakah ente masih sanggup menyebut ini sekadar “insiden”?
Ribuan ojol mengantar Affan ke liang lahat, tapi yang paling berat berjalan adalah ibunya. Setiap langkah menuju makam adalah torehan baru di jantungnya. Setiap sekop tanah yang menutup jenazah Affan adalah tusukan pisau ke hati seorang ibu. Di atas pusara itu, Erlina menangis lagi. Tangis yang tak akan pernah selesai.
Inilah tragedi paling nyata. Bukan hanya hilangnya nyawa Affan, tapi hancurnya hati seorang ibu. Maka jangan salahkan rakyat bila mereka turun ke jalan, bila mereka marah, bila mereka menyalakan api demo. Karena di balik setiap teriakan demo, ada jeritan seorang ibu yang kehilangan anaknya. Ketika aparat melindas seorang anak, sejatinya mereka juga melindas hati semua ibu di negeri ini. Affan sudah tiada, tapi tangis Erlina akan terus hidup sebagai alasan rakyat untuk melawan.
Foto Ai, hanya ilustrasi saja.
Rosadi Jamani :
Ketua Satupena Kalbar
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat di Dosen, Tinggal di Pontianak, Indonesia.
“Manusia zaman ini lebih sering diuji bukan pada saat miskin, tapi saat kaya dan punya followers.” [kutipan dalam akun Face book Rosadi Jasmani]