Ruh Konstitusi sebagai Penuntun Bangsa

Kembali ke Supremasi Konstitusi Menghidupkan Ruh MPR RI dan Perwakilan Golongan Oleh : Irdam Imran

0 21

Depok IkkeLa32.com 22/9/2025 — Di tengah riuh rendah demokrasi elektoral, kita sering lupa bahwa konstitusi adalah ruh yang menuntun perjalanan bangsa. Buya Hamka pernah menasihati, “Hidupkanlah ruh agama dan akhlak dalam setiap amal politikmu, agar kekuasaan tidak menjadi berhala.” Pesan ini mengingatkan kita bahwa supremasi konstitusi bukan sekadar aturan hukum, tetapi penjaga moral kolektif bangsa.

Pelajaran dari Para Pendiri Bangsa

Soekarno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai persatuan dan musyawarah.” Sementara Mohammad Hatta mengingatkan, “Demokrasi kita bukan sekadar suara terbanyak, tetapi kesepakatan yang adil dan bermoral.” Dua kutipan ini relevan ketika kita menyaksikan polarisasi politik yang kian tajam dan praktik balas budi elektoral yang melemahkan prinsip-prinsip konstitusi.

Rumi dan Pesan Moral Politik

Rumi menulis bahwa ketika manusia terpaut pada ilusi dunia, ia ibarat kupu-kupu yang mengejar api. Begitu pula politik: bila kekuasaan hanya dikejar demi balas jasa kelompok, api itu akan menghanguskan nilai keadilan. Supremasi konstitusi harus menjadi penuntun agar negara berdiri di atas keadilan, bukan di bawah bayang-bayang kepentingan pribadi.

MPR RI Sebagai Rumah Kebangsaan

MPR RI, sebagai simbol kedaulatan rakyat, perlu menghidupkan kembali fungsi luhur sebagai forum musyawarah bangsa. Di masa lalu, perwakilan golongan—ulama, petani, buruh, akademisi—memberi suara moral yang melengkapi peran partai politik. Pasca-amandemen, ruang itu tertutup, dan kini polarisasi politik memperlihatkan kebutuhan akan kanal konstitusional yang menampung aspirasi masyarakat sipil. Memberi ruang terbatas bagi utusan masyarakat sipil—relawan, ormas, dan profesi—dapat menjadi jembatan antara rakyat akar rumput dan elit politik, tanpa mengorbankan keseimbangan kekuasaan.

Langkah Konkret: Memberi Ruang untuk Relawan

1. Kuota Terbatas – Menetapkan 10–15% kursi MPR untuk utusan masyarakat sipil sehingga tetap proporsional.

2. Seleksi Transparan – Menggunakan mekanisme terbuka melalui KPU dan DKPP untuk menjamin legitimasi dan mencegah kooptasi.

3. Akuntabilitas Publik – Mewajibkan laporan tahunan kepada publik dan membuka ruang aspirasi di daerah.

4. Batasan Kewenangan – Membatasi hak tertentu agar utusan golongan tetap menjadi penyeimbang moral, bukan pemain kekuasaan baru.

Fethullah Gulen pernah berkata, “Kekuatan sejati bukan pada jumlah pengikut, melainkan pada kejernihan niat dan akhlak.” Relawan sejati tidak membutuhkan panggung besar untuk menunjukkan pengaruh, tetapi menghadirkan ketulusan dalam menjaga konstitusi dan akhlak berpolitik.

Menatap Masa Depan Politik yang Lebih Bersih

Bangsa Indonesia lahir dari semangat musyawarah, persatuan, dan ketaatan pada nilai-nilai luhur. Sudah saatnya kita kembali ke semangat itu—supremasi konstitusi sebagai penuntun, MPR RI sebagai rumah kebangsaan, dan relawan sebagai penjaga nurani. Jika ini terwujud, politik tidak lagi menjadi kabut yang menyesatkan, tetapi jalan terang menuju keadilan dan kesejahteraan bersama.

Doa Penutup

Ya Allah, tunjukilah para pemimpin kami jalan yang lurus, jauhkan mereka dari kepentingan sempit dan syahwat kekuasaan. Satukan hati rakyat Indonesia dalam keadilan dan kasih sayang. Jadikanlah konstitusi negeri ini sebagai benteng kejujuran, persatuan, dan kemaslahatan. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Irdam Imran adalah Pengamat Politik dan Hukum Konstitusi, Mantan Birokrat Parlemen Senayan 1992-2018
Alumni Sekolah Pasca Ilmu Politik Unas 2007, Aktivis Partai Ummat- Indonesia

Leave A Reply

Your email address will not be published.