Supremasi Konstitusi, Pers, Civil Society, dan Mensucikan Program MBG

Narasi Opini Publik oleh : Irdam Imran

0 17

Depok IkkeLa32.com 28/9/2025 — Kasus keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) serta pencabutan kartu liputan seorang jurnalis istana menyentuh urat nadi demokrasi kita: bagaimana negara, pers, dan civil society menempatkan diri dalam supremasi konstitusi.

Konstitusi menegaskan bahwa negara wajib melindungi segenap bangsa dan mencerdaskan kehidupan rakyatnya. MBG lahir dari niat luhur itu, namun ketika implementasinya melahirkan masalah serius, jalan keluarnya bukanlah membungkam kritik, melainkan menyerap kritik sebagai energi perbaikan.

Pers dan civil society adalah pilar kebangsaan. Mereka hadir bukan untuk meruntuhkan negara, melainkan menjadi pengingat agar bangsa tidak menyimpang dari cita-cita konstitusi. Namun, kritik haruslah konstruktif dan berlandaskan kasih sayang—sebagaimana pesan Rumi: “Kebenaran yang disampaikan tanpa cinta adalah pedang yang melukai, tetapi kebenaran dengan cinta adalah cahaya yang menuntun.”

Di sisi lain, kepemimpinan nasional juga harus dirawat. Presiden adalah nakhoda bangsa; ia memang wajib diawasi agar tidak salah arah, tetapi bahtera Indonesia tetap harus dijaga keseimbangannya. Bung Hatta menegaskan: “Demokrasi bukan hanya kebebasan, tetapi juga tanggung jawab.”

Amien Rais pernah mengingatkan bahwa reformasi lahir untuk membongkar politik yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Maka, dalam semangat reformasi itu, kritik adalah ibadah sosial—bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk membersihkan jalan bangsa dari kegelapan.

Fethullah Gulen memberi pesan: “Sebuah bangsa hanya akan kuat bila rakyatnya mengedepankan ilmu, moral, dan tanggung jawab sosial.” Pers dan civil society kita pun harus menjadi suluh moral, yang tidak hanya menyoroti kesalahan, tetapi juga memberi teladan dalam ketulusan.

Sementara itu, Anies Baswedan pernah berkata: “Kritik yang jujur adalah hadiah bagi seorang pemimpin.” Artinya, pengawasan publik adalah vitamin, bukan racun. Dengan kritik yang jernih, kepemimpinan nasional bisa tumbuh kuat, dipercaya, dan berorientasi pada rakyat.

Maka, di tengah ujian MBG ini, kita belajar bahwa supremasi konstitusi adalah jalan tengah. Ia menuntut semua pihak—negara, pemimpin, pers, dan civil society—untuk patuh pada aturan, adil dalam sikap, dan ikhlas dalam niat. Dari situlah lahir harmoni: kritik yang membangun, kepemimpinan yang kuat, serta rakyat yang sejahtera.

Kasus keracunan massal dari dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah teguran dari langit. Seakan alam berkata: “Jangan main-main dengan rezeki anak bangsa.” Makanan yang seharusnya menjadi berkah justru berubah menjadi musibah. Di sinilah kita perlu merenung, bahwa setiap butir nasi dan setiap suapan gizi adalah amanah Tuhan yang tidak boleh diabaikan.

1. Evaluasi Struktural: Menata Kelembagaan

BGN dan jajarannya tidak cukup hanya sibuk membagi paket makanan. Mereka harus memastikan setiap dapur memiliki kesucian standar: higienis, bersih, dan sesuai syariat menjaga kesehatan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik.” Maka, makanan untuk anak-anak kita pun harus datang dari proses yang baik.

2. Evaluasi Kultural: Menyucikan Niat dan Budaya Kerja

Lebih dalam dari struktur adalah budaya kerja. Kerja asal-asalan, malas cuci tangan, atau lalai menjaga dapur adalah tanda keringnya kesadaran spiritual. Seperti kata Jalaluddin Rumi: “Apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati, dan apa yang keluar dari tangan yang kotor tak akan sampai ke dalam jiwa yang suci.”
Karena itu, MBG harus dibangun di atas kultur kesungguhan, ketulusan, dan disiplin yang berakar dari niat ibadah.

3. Melibatkan PKL: Memberdayakan Warga Sekitar

Mungkin sudah saatnya program MBG membuka diri melibatkan pedagang kaki lima (PKL) di lingkungan RT dan RW. Mereka adalah saudara-saudara kita yang sehari-hari menghidupi keluarga dari makanan yang mereka jual. Dengan pendampingan dan sertifikasi higienis, PKL bisa menjadi mitra suci dalam menyediakan gizi anak bangsa.
Inilah yang Bung Hatta pernah ajarkan: ekonomi kerakyatan lahir dari kekuatan rakyat kecil, bukan dari konglomerat. Dengan melibatkan PKL, MBG bukan hanya memberi gizi, tetapi juga memberi rezeki yang halal dan berkah bagi warga.

4. Penutup: Dari Mudarat ke Maslahat

MBG lahir dari niat mulia, tapi niat saja tidak cukup. Ia harus dibersihkan, disucikan, dan dikuatkan dengan evaluasi struktural dan kultural. Amien Rais pernah mengingatkan, politik tanpa moral akan kehilangan arah. Begitu pula MBG tanpa spiritualitas akan kehilangan berkah.
Anies Baswedan pun sering berkata: “Jangan hanya bangun fisiknya, bangun juga jiwanya.”

Maka, mari kita rawat MBG sebagai ibadah sosial, bukan sekadar program negara. Semoga setiap suapan gizi yang sampai ke mulut anak-anak kita menjadi doa panjang umur bagi bangsa, bukan kutukan akibat kelalaian kita.

Irdam Imran adalah :
Mantan Birokrat Parlemen Senayan 1992-2018
Alumni Sekolah Pasca Ilmu Politik Unas 2007
Aktivis Partai Ummat- Indonesia
Leave A Reply

Your email address will not be published.