Jakarta (IkkeLA) : Di tengah derasnya arus informasi digital, media seharusnya menjadi penjaga gerbang kebenaran. Media harus kembali menjadi filter yang tajam, bukan sekadar pengeras suara viralitas.
Jangan korbankan nurani hanya demi angka rating. Karena dalam dunia informasi, lebih baik kehilangan popularitas daripada kehilangan integritas. Utamakan yang benar, bukan yang ramai.
Namun kini, banyak yang berubah arah menjadi seperti gerbang tol—siapa saja boleh lewat, asalkan tampil meyakinkan dan tidak membuat kemacetan di linimasa. Perubahan ini bukan hanya menyangkut pola produksi berita, tetapi juga menyangkut siapa yang diberi panggung untuk bicara.
Narasumber dalam jurnalisme memegang peranan sentral. Mereka berfungsi sebagai kompas informasi: menunjukkan arah fakta, membentuk perspektif publik, dan menanamkan nilai moral dalam setiap isu yang diberitakan. Namun, dalam praktiknya saat ini, kompas media sering kali menyimpang. Penyebab utamanya bukan ketiadaan data atau sumber yang tepat, melainkan karena media lebih memilih magnet popularitas dibanding arah utara kebenaran.
Pakar Instan dan Peran Media Sosial
Salah satu ironi terbesar dalam dunia jurnalistik modern adalah munculnya “pakar instan”. Mereka lahir dari rahim media sosial, tumbuh dengan kutipan motivasi, desain visual estetik, serta potongan video seminar daring.
Ketika media memanggil mereka tampil di layar kaca, proses verifikasi yang seharusnya menjadi benteng pertama integritas justru diabaikan. Banyak redaksi tidak sempat (atau tidak ingin) bertanya: siapa sebenarnya orang ini?
Fenomena podcast dan platform digital lainnya menyuburkan tren ini. Para narasumber yang mahir merangkai kata langsung mendapat label “ahli”, tanpa latar belakang akademis yang memadai.
Terjadi inflasi gelar dan kredibilitas yang bisa didesain lewat kamera, bukan lewat pengalaman atau pendidikan formal. Hal ini memunculkan pertanyaan krusial: ke mana perginya proses verifikasi di ruang redaksi?
Kejar Tayang dan Perang Melawan Algoritma
Jawaban atas absennya proses seleksi yang ketat sangat sederhana: kejar tayang. Dalam era clickbait dan rating, media tidak lagi fokus pada kualitas informasi, tetapi pada kecepatan menyajikan konten.
Sayangnya, jurnalisme bukanlah lomba lari estafet melawan algoritma, melainkan maraton menjaga kepercayaan dan integritas. Popularitas narasumber pun menjadi tolok ukur utama. Selama seseorang tampak percaya diri, berbicara lancar, dan punya ribuan pengikut, maka tiket menuju layar kaca pun terbuka lebar.
Namun keputusan ini sangat berisiko. Membiarkan seseorang yang belum sah sebagai profesional berbicara sebagai otoritas sama bahayanya dengan menyerahkan pisau bedah kepada mahasiswa kedokteran semester dua. Ia mungkin menguasai teori, tapi belum tentu mampu menangani krisis nyata.
Risiko dari praktik ini bukan sekadar merusak kredibilitas media. Jauh lebih dari itu, nasib banyak orang bisa terpengaruh. Ketika seseorang yang mengaku psikolog tampil di televisi dan memberikan nasihat tentang kesehatan mental, publik bisa menganggapnya sebagai rujukan yang sah.
Bayangkan seorang ibu muda yang tengah mengalami depresi pascamelahirkan, kemudian mengikuti saran dari “pakar” yang sebenarnya hanya lulusan sarjana psikologi tanpa lisensi profesi. Satu langkah keliru, bisa berdampak fatal—bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi anaknya.
Inilah titik paling genting di mana media mulai menjual opini personal sebagai panduan publik, tanpa memastikan pagar pengaman profesionalisme di sekelilingnya.
Jika situasi ini terus dibiarkan, maka bukan hanya kredibilitas individu yang dipertaruhkan, tetapi kepercayaan publik terhadap media secara keseluruhan. Ketika satu atau dua “pakar gadungan” terbongkar, masyarakat akan meragukan setiap narasumber yang tampil.
Media, seperti restoran yang menyajikan makanan basi sekali saja, bisa langsung ditinggalkan oleh pelanggan setianya. Di era informasi yang sangat sensitif ini, kesalahan label bukan sekadar salah ketik, melainkan bom waktu yang bisa meledak menjadi skeptisisme massal.
Media harus kembali memegang prinsip dasar jurnalisme: kebenaran, verifikasi, dan akurasi. Wahai media, sudah waktunya berhenti terpesona pada viralitas.
Jangan hanya memilih narasumber karena kepopulerannya, tetapi utamakan kapabilitas dan legalitas profesinya. Proses verifikasi bukan beban, melainkan tameng profesional yang harus dijaga.
Wahai masyarakat, jangan langsung percaya hanya karena seseorang tampil di TV atau viral di Reels. Gali informasi, cek latar belakang, dan telusuri lembaga yang menaunginya. Di era digital, kejelian menjadi pertahanan utama dari tsunami disinformasi.
Sebagaimana pepatah lama berkata: jangan mudah percaya pada kuda yang baru keluar kandang, meski pelananya tampak megah. Kita hidup di masa ketika kredibilitas bisa dibentuk oleh kamera dan caption.
Maka jadilah penjaga gerbang terakhir yang memastikan hanya informasi sahih yang masuk ke pikiran kita.
)**Wicaksono/ Ipung Priambodo