Meneladani Metode Perubahan Politik ala Rasulullah SAW.

Hikmah Maulid Nabi SAW : Buletin Kaffah Edisi 409 (12 Rabiul Awal 1447 H/05 September 2025 M)

0 46

DEPOK IKKELA32.COM 5/9/2025 — PERINGATAN Maulid Nabi Muhammad saw. bukan hanya momentum ritual penuh lantunan shalawat dan doa semata. Ia juga merupakan kesempatan reflektif untuk menggali hikmah agung dari kelahiran Rasulullah saw. Salah satu hikmah terbesar yang jarang disorot adalah bahwa kelahiran beliau menandai awal perubahan besar dalam peradaban manusia: dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat Islam yang mulia.

Pertanyaannya: Apakah kita siap meneladani metode beliau dalam melakukan perubahan politik hari ini? Ataukah kita tetap mempercayai metode sekuler seperti demokrasi yang telah terbukti berkali-kali hanya memberikan janji-janji (janji tentang kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dll) yang tidak pernah terbukti sama sekali? Ataukah kita merasa yakin dengan people power (gerakan massa) yang acapkali dibumbui anarkisme (kekerasan) yang tak jarang memakan korban?

Isyarat Politik dalam Kelahiran Nabi saw.

Kitab Mawlîd al-Barzanjî karya Syaikh Ja’far al-Barzanji mengisahkan peristiwa besar saat Rasulullah saw. lahir. Cahaya memancar hingga menerangi istana Romawi di Syam. Pilar istana Kisra di Madain retak. Sepuluh menaranya runtuh. Api sembahan Persia padam. Danau Sawah mengering. Wadi Samawah tiba-tiba mengalirkan air.

Fenomena ini bukan sekadar kejadian kosmik. Ini adalah isyarat politik bahwa kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah ancaman langsung bagi imperium Persia dan Romawi saat itu. Beliau lahir sebagai pemimpin perubahan politik global yang akan meruntuhkan tatanan kufur dunia dan membangun peradaban baru: peradaban Islam.

Di Pasar Dzil Majaz Nabi saw. pernah berseru:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ تُفْلِحُوا

Hai manusia, ucapkanlah “Lâ ilâha illalLâh,” niscaya kalian beruntung! (HR Ahmad).

Seruan itu bukan hanya dakwah tauhid. Ia sekaligus merupakan deklarasi visi politik bahwa perubahan sejati berawal dari pengakuan terhadap kedaulatan Allah SWT.

Lalu ketika menggali Parit Khandaq, Nabi saw. memukul batu besar tiga kali. Saat memulai pukulan pertama, beliau mengucapkan, “BismilLāh”. Lalu pecahlah sepertiga batu itu. Beliau bersabda, “AlLāhu Akbar! Aku telah diberi kunci Syam. Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar melihat istana-istana merahnya dari tempatku ini.” Kemudian beliau mengucapkan, “BismilLāh”, lalu memukul sekali lagi hingga pecah sepertiga batu itu. Beliau bersabda, “AlLāhu Akbar! Aku telah diberi kunci negeri Persia. Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar melihat kota-kotanya dan aku melihat istana putihnya dari tempatku ini.” Kemudian beliau mengucapkan, “BismilLāh”, lalu memukul dengan pukulan lain hingga tercabutlah sisa batu itu. Beliau bersabda, “AlLāhu Akbar! Aku telah diberi kunci negeri Yaman. Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar melihat pintu-pintu Kota Shan‘ā (Yaman) dari tempatku ini.” (HR Ahmad dan an-Nasa’i).

Sejarah kemudian mencatat bahwa nubuwat itu menjadi nyata pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab ra. Saat itu, dua negara adidaya, yakni Persia dan Romawi, benar-benar berhasil ditundukkan di bawah kekuasaan Islam.

People Power Hanya Mengganti Rezim, Bukan Sistem

Di era modern, banyak orang berharap perubahan politik melalui people power (gerakan massa). Sejarah Indonesia pasca-Reformasi 1998 adalah contoh nyata. Rezim Soeharto tumbang. Orde Baru runtuh. Akan tetapi, apakah secara politik Indonesia benar-benar berubah? Tidak! Korupsi makin mengganas. Oligarki makin kukuh. Sumberdaya alam milik rakyat tetap ada dalam kendali swasta dan asing. Pajak makin mencekik. Utang negara dan bunganya makin tinggi. Rakyat tetap miskin. Pengangguran makin banyak. Elit politik makin bergelimang harta. Keadilan hukum makin sulit ditegakkan. Mengapa demikian? Sebabnya, yang jatuh hanya rezimnya, bukan sistem politiknya. Sistem demokrasi sekuler tetap dipertahankan. Padahal sistem inilah yang menjadi akar kerusakan yang membelit negeri ini. Ini karena dalam sistem demokrasi, kedaulatan (hak membuat hukum) ada di tangan manusia. Artinya, pembuatan hukum diserahkan pada hawa nafsu manusia. Padahal Allah SWT tegas telah menyatakan:

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ

Otoritas membuat hukum itu ada pada Allah (TQS Yusuf [12]: 40).

Bahkan Allah SWT telah menegaskan:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْظَالِمُوْنَ

Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 45).

Allah SWT juga telah mengingatkan:

أَفَحُكْمَ ٱلْجَـٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًۭا لِّقَوْمٍۢ يُوقِنُونَ

Apakah sistem hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).

Jelaslah, demokrasi yang menempatkan kedaulatan (hak membuat hukum) di tangan manusia adalah sistem hukum jahiliyah. Karena itu pergantian rezim (penguasa) tanpa pergantian sistem politiknya—ke arah sistem politik Islam—tak akan pernah menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik.

Dakwah, Bukan Kerumunan Massa

Islam memiliki metode perubahan politik yang jelas dan tuntas. Rasulullah saw. tidak pernah menyerukan revolusi massa untuk menggulingkan rezim Quraisy. Beliau menempuh metode dakwah yang terarah melalui tiga tahap:

Pertama, Tatsqîf (Pembinaan): Beliau membina para Sahabat dengan fikrah Islam agar keimanan mereka kokoh dan mereka siap berjuang untuk perubahan.

Kedua, Tafâ‘ul ma‘a al-Ummah (Interaksi dengan Masyarakat): Beliau mendakwahkan Islam secara terang-terangan di tengah-tengah masyarakat sekaligus membongkar kebusukan sistem kufur hingga opini umum berpihak pada Islam.

Ketiga, Thalab an-Nushrah (Menggalang Dukungan). Beliau menggalang dukungan dari ahlul quwwah (para pemilik kekuasaan) untuk menegakkan sistem politik dan pemerintahan Islam.

Ketiga tahapan ini beliau tempuh tanpa kekerasan sama sekali apalagi melalui people power (gerakan massa) yang menjurus pada anarkisme (kekerasan). Pada akhirnya, terutama melalui tahapan thalab an-nushrah, beliau berhasil meraih kekuasaan (istilâm al-hukum) secara damai dari ahlul quwwah di Madinah yang didukung oleh mayoritas penduduknya. Saat itu mereka menyerahkan kekuasaan mereka secara sukarela kepada beliau. Sejak itu beliau segera memproklamirkan pendirian Daulah Islam untuk pertama kalinya.

Dengan metode ini, perubahan politik yang lahir bukan sekadar jatuhnya penguasa, melainkan tumbangnya seluruh sistem jahiliyah, diganti dengan sistem Islam. Hasilnya adalah peradaban Islam yang bertahan berabad-abad lamanya.

Landasan Historis: Baiat ‘Aqabah Kedua

Ibn Hisyam bertutur: Tatkala mereka berkumpul untuk Nabi saw. di ‘Aqabah, beliau berkata kepada mereka, “Kalian membaiat aku untuk mendengar dan taat…serta untuk menolong dan melindungi diriku sebagaimana kalian melindungi diri, istri dan anak-anak kalian.” (Ibnu Hisyam, Sîrah an-Nabawiyyah, 2/41).

Inilah Baiat ‘Aqabah Kedua yang menjadi landasan bagi penegakan Daulah Islam di Madinah. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Al-Mubarakfuri: “Sesungguhnya baiat ini adalah fondasi kokoh bagi penegakan Daulah Islam pertama, yang memerintah dengan wahyu yang telah Allah turunkan dan membawa Islam ke seluruh dunia.” (Al-Mubarakfuri, Ar-Rahīq al-Makhtūm, hlm. 177)

Dari nukilan di atas tampak jelas bahwa Rasulullah saw. melakukan perjuangan perubahan politik: dari masyarakat jahiliyah di Makkah (lemah, tertindas) menuju masyarakat Islam di Madinah yang penuh dengan rahmat dan keadilan dalam naungan Daulah Islam.

Jalan Mana yang Kita Pilih?

People power (gerakan massa) sejauh ini hanya memberikan euforia sesaat. Faktanya, people power selalu gagal mengubah sistem rusak yang menjadi akar masalahnya. Sebaliknya, metode perubahan politik ala Rasulullah saw. telah terbukti efektif dalam proses perubahan hingga melahirkan peradaban agung.

Alhasil, jika umat Islam benar-benar ingin lepas dari siklus tirani dan ketidakadilan, jawabannya bukan demokrasi atau people power (gerakan massa). Jawabannya adalah meneladani metode dakwah dan perubahan ala Rasulullah saw.: menempuh tharîqah nabawiyyah, menegakkan Islam kâffah dan membangun kembali sistem pemerintahan Islam. Itulah sistem Khilafah ‘alâ minhâj an-Nubuwwah sebagai pelanjut Daulah Islam yang dirintis oleh beliau untuk pertama kalinya.

Apalagi para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa Khilafah adalah kewajiban syar’i, bukan sekadar pilihan politik. Salah seorang ulama mazhab Syafii terkemuka, Imam al-Mawardi (w. 450 H), tegas menyatakan:

الإمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالإِجْمَاعِ

Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Mengangkat seorang imam (khalifah) bagi umat hukumnya wajib berdasarkan Ijmak (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).

Imam an-Nawawi (w. 676 H), salah seorang ulama mu’tabar mazhab Syafii, juga menegaskan:

وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلَيْفَةٍ وَوُجُوْبُهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ

Para ulama telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mengangkat seorang khalifah (menegakkan Khilafah). Kewajiban ini berdasarkan syariah. Bukan berdasarkan akal (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘alaa Muslim, 12/205).

Bahkan Imam an-Nawawi menganggap batil paham yang menolak kewajiban menegakkan Khilafah ini. Kata beliau:

وَأَمَّا مَا حُكِىَ عَنِ اْلأَصَمِّ أَنَّهُ قَالَ لاَ يَجِبُ وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لاَ بِالشَّرْعِ فَبَاطِلاَنِ

Adapun apa yang dikisahkan dari al-‘Asham bahwa Khilafah tidak wajib, atau juga dari yang selain dia, bahwa Khilafah wajib hanya berdasarkan akal, bukan berdasarkan ketentuan syariah, maka kedua pendapat ini batil (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘alâ Muslim, 12/205).

Alhasil, Peringatan Maulid Nabi saw. sudah seharusnya diarahkan untuk memotivasi umat agar sungguh-sungguh melakukan perubahan politik ke arah Islam sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bukan dengan tetap mempertahankan sistem demokrasi sekuler seperti saat ini. Hanya dengan itu Peringatan Maulid Nabi saw. akan jauh lebih bermakna.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

…ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ…

…Pada akhirnya akan datang kembali era Khilafah yang tegas di atas metode Kenabian… (HR Ahmad).

Leave A Reply

Your email address will not be published.