JAKARTA (IkkeLA): Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus berlanjut sejak tahun lalu. Kondisi ini membuat anggota komisi VII DPR RI Yoyok Riyo Sudibyo mengaku prihatin. Gelombang PHK itu bukan sekadar gejolak bisnis biasa, melainkan indikasi krisis sosial-ekonomi yang mengancam kehidupan masyarakat.
“Ini bukan hanya soal angka. Ini soal ribuan keluarga yang kehilangan penghasilan, anak-anak yang terancam putus sekolah, dan masyarakat yang makin terpinggirkan. Badai PHK ini merupakan potret kepedihan yang nyata,” kata Yoyok, Senin (14/4/2025).
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, dalam dua bulan pertama tahun 2025 saja, lebih dari 18.000 pekerja kehilangan pekerjaan karena cukup banyak perusahaan besar yang melakukan PHK masal.
Beberapa perusahaan itu termasuk PT Sritex (10.665 pekerja), PT Yamaha Music Product Asia, PT Yamaha Indonesia, PT Sanken Indonesia, hingga PT Victory Ching Luh. Wilayah Jawa Tengah, Riau, dan DKI Jakarta mencatat jumlah PHK tertinggi.
Belum lagi jika melihat data badai PHK yang terjadi sepanjang 2024 di mana sektor industri padat karya menjadi yang paling terpukul. Yoyok berharap pemerintah bisa memberikan solusi terhadap PHK yang menimpa masyarakat.
“Negara harus hadir, banyak sekali sektor industri yang terpukul akibat beratnya kondisi perekonomian global, dan berbagai faktor internal dalam negeri. Khususnya industri padat karya yang harus dilindungi,” ujar Yoyok.
Mantan Bupati Batang tersebut mengatakan, industri padat karya bukan hanya menghadapi tantangan domestik, tetapi juga karena tekanan global. Termasuk dampak dari rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan tarif impor yang dikhawatirkan bisa menggerus daya saing ekspor Indonesia, terutama produk tekstil dan manufaktur.
“Jika negara lain memperketat pasar, sementara kita tidak memperkuat fondasi industri dan perlindungan tenaga kerja, maka PHK hanya akan terus berulang,” ujar Yoyok.
Oleh karena itu, Yoyok meminta pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret. Beberapa upaya yang bisa dilakukan negara seperti pemberian insentif bagi industri padat karya.
“Pemerintah juga perlu meningkatkan program pelatihan bagi korban PHK agar beradaptasi dengan kebutuhan pasar, serta pendidikan maupun pelatihan program vokasi agar industri kreatif dan nonformal dapat semakin berkembang,” sebutnya.
Yoyok juga menilai reformasi sistem jaminan sosial ketenagakerjaan juga perlu dilakukan agar korban PHK tidak hanya bergantung pada pesangon. Para pekerja yang di-PHK harus mendapat pelatihan, pendampingan, dan subsidi upah transisi.
“Perlindungan terhadap industri padat karya merupakan langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional serta memastikan keberlanjutan lapangan kerja bagi jutaan tenaga kerja Indonesia,” jelas Legislator dari Dapil Jawa Tengah X (Batang, Pekalongan, Pemalang, dan Kota Pekalongan) itu.
Selain itu, Dia berharap pemerintah melalui kementerian terkait dapat menyusun rencana untuk pemulihan ketenagakerjaan secara nasional. Hal itu perlu dilakukan bukan sekadar mengandalkan pesangon atau program bersifat reaktif, tetapi menciptakan ekosistem kerja baru yang lebih berdaya tahan.
“Negara memiliki peran penting. Konstitusi menjamin hak setiap warga negara memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sudah saatnya kita memastikan bahwa kebijakan publik tidak hanya bergantung pada mekanisme pasar semata, tetapi juga berpihak pada kesejahteraan seluruh rakyat. Termasuk perlindungan bagi pekerja industri padat karya,” tegasnya. (dpr/*)