Apa itu “Soft Life” ?

Oleh : Muhammad Dahron

JAKARTA (IkkeLA): “Belakangan ini, istilah soft life semakin populer, terutama di kalangan anak muda yang mulai jenuh dengan tekanan hidup yang tak ada habisnya.”

Di tengah arus hustle culture yang mengagung-agungkan kerja keras tanpa henti, soft life hadir sebagai antitesis sebuah gaya hidup yang menawarkan ketenangan, keseimbangan, dan kebebasan dari stres berlebihan.

Gambaran ideal dari soft life adalah hidup tanpa drama, tanpa kejar-kejaran ambisi, dan tanpa tekanan untuk selalu “produktif.”

Bangun pagi tanpa alarm, menikmati secangkir kopi tanpa terburu-buru, bekerja seperlunya tanpa burnout, dan punya cukup waktu untuk diri sendiri semua itu menjadi impian banyak orang yang lelah dengan siklus kerja-tidur-ulangi.

Namun, di balik popularitasnya, muncul banyak perdebatan. Apakah ini benar-benar bentuk perlawanan sehat terhadap sistem yang menuntut terlalu banyak? Ataukah sekadar pelarian halus dari realitas dan tanggung jawab hidup yang tidak bisa dihindari?

Fenomena soft life memicu pertanyaan penting: apakah kita benar-benar mencari hidup yang lebih berkualitas, atau justru sedang menghindari proses yang memang tak nyaman?

Fenomena ini muncul sebagai reaksi terhadap budaya kerja keras ekstrem (hustle culture) yang selama ini dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan.

Dalam kultur tersebut, seseorang baru dianggap berhasil jika hidupnya penuh aktivitas, kalendernya padat, dan jam tidurnya minim karena sibuk mengejar target.

Ungkapan seperti “kerja dulu, nikmati nanti” menjadi mantra yang diulang-ulang, seolah-olah kebahagiaan hanya pantas didapat setelah kerja keras tanpa jeda. Namun, semakin banyak orang khususnya generasi muda yang mulai mempertanyakan logika itu.

Mereka melihat banyak contoh nyata: orang tua yang bekerja seumur hidup tapi tak sempat menikmati hidup, profesional muda yang kariernya cemerlang tapi kesehatannya runtuh, atau teman sebaya yang “sukses” di media sosial tapi diam-diam berjuang melawan burnout.

Dari kegelisahan itu, soft life muncul sebagai bentuk perlawanan. Ia menolak gagasan bahwa hidup harus selalu produktif.

Kritik terhadap soft life juga tak sedikit. Sebagian orang menilai gaya hidup ini bisa menjadi dalih untuk menghindari kerja keras, tantangan, dan tanggung jawab

Dengan alasan menjaga kesehatan mental atau mencari ketenangan, tak jarang soft life dijadikan pembenaran untuk bersikap pasif, menolak keluar dari zona nyaman, bahkan menunda-nunda keputusan penting dalam hidup.

Di mata para pengkritiknya, soft life berpotensi menciptakan generasi yang terlalu cepat menyerah, yang enggan menghadapi kerasnya realita dunia.

Ketika segala sesuatu dianggap “toxic” atau terlalu melelahkan, muncullah kecenderungan untuk lari, bukan beradaptasi.

Bekerja lebih keras sedikit dianggap sebagai bentuk eksploitasi diri, sementara tekanan yang sejatinya wajar dalam proses pendewasaan dianggap sebagai beban yang harus dihindari.

Lebih jauh, soft life bisa membentuk pola pikir instan di mana orang hanya ingin enaknya tanpa mau menempuh prosesnya.

Yang sering terlupakan, soft life bukan berarti anti-kerja keras, tapi lebih kepada memilih kerja yang selaras dengan nilai hidup dan batas kemampuan.

Konsep ini mengajak orang untuk bekerja dengan cara yang lebih manusiawi, tidak sekadar mengejar target tanpa henti, melainkan juga memperhatikan kesejahteraan mental, emosional, dan fisik.

Penganut soft life bukan berarti malas atau enggan berusaha. Justru sebaliknya, mereka sering kali tetap bekerja keras, namun dengan kesadaran penuh untuk tidak mengorbankan diri secara berlebihan.

Mereka lebih selektif dalam memilih pekerjaan, lingkungan sosial, bahkan gaya hidup karena mereka paham bahwa keberhasilan tidak harus selalu dibayar dengan kelelahan dan stres yang kronis.

Soft life mendorong orang untuk menyusun ulang prioritas. Bukan semata soal pencapaian materi, tapi juga tentang waktu untuk keluarga, kesehatan mental, waktu istirahat, dan ruang untuk menikmati hidup.

Jadi, apakah soft life adalah pilihan bijak atau bentuk pelarian? Jawabannya bisa dua-duanya, tergantung bagaimana dan mengapa seseorang menjalankannya.

Jika dijalani dengan kesadaran, tujuan yang jelas, dan tetap dibarengi dengan tanggung jawab terhadap hidup dan masa depan, maka soft life bisa menjadi bentuk perlawanan yang sehat terhadap gaya hidup yang terlalu menuntut.

Ia adalah cara untuk menjaga kewarasan, menghargai diri sendiri, dan memilih hidup yang lebih seimbang di tengah dunia yang terus mendesak untuk “lebih dan lebih lagi.”

Namun, jika soft life hanya menjadi dalih untuk menghindar dari tantangan, tidak mau berkembang, atau menolak bertumbuh karena takut gagal, maka ia bisa menjelma menjadi jebakan kenyamanan yang semu.

Pada akhirnya, yang paling penting bukan label gaya hidup yang dipilih, tapi kesadaran dan nilai yang melandasinya. Mau hidup dengan tempo cepat atau lambat, penuh ambisi atau tenang dan cukup selama dijalani dengan jujur pada diri sendiri, bertanggung jawab, dan tidak merugikan orang lain itulah versi real life yang patut dihargai.

Muhammad Dahron adalah seorang blogger dan Freelancer

Comments (0)
Add Comment