Hijrah Menuju ’Khayru Ummah’

Buletin Kaffah edisi 399 (1 Muharram 1447 H/27 Juni 2025 M)

Depok IkkeLa32.com (27/06/2025) –Tahun kembali berganti. Dari Tahun 1446 Hijrah ke Tahun Baru 1447 Hijrah. Dalam satu tahun kemarin berbagai peristiwa berlangsung. Muslim yang cerdas tentu tidak menyambut kehadiran Tahun Baru Hijrah ini dengan kegiatan seremonial belaka. Ada amalan lain yang patut dilakukan: muhâsabah.

Mengawali Tahun Baru 1447 H, setiap Muslim penting untuk melakukan evaluasi. Bukan hanya terhadap diri sendiri, melainkan juga terhadap kondisi umat ini. Apakah betul umat ini telah meraih kedudukan selaku khayru ummah (umat terbaik)? Ataukah umat hari ini sebenarnya masih terpuruk? Jika masih terpuruk, tentu penting untuk mencari jalan kebangkitan hakiki agar mereka kembali meraih predikat ’khayru ummah’ (umat terbaik).

Refleksi dan Evaluasi

Muhâsabah hukumnya fardhu atas setiap Muslim. Ini, antara lain, berdasarkan firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk Hari Esok (Akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahatahu atas apa yang kalian kerjakan (TQS al-Hasyr [59]: 18).

Ibnu al-Qayyim rahimahulLâh berkata, “Ayat ini menunjukkan kewajiban muhâsabah terhadap diri sendiri. Artinya: ”Hendaklah setiap orang memperhatikan amal-amal yang telah dia persiapkan untuk Hari Kiamat; apakah berupa amal salih yang dapat menyelamatkan dirinya ataukah perbuatan dosa yang dapat mencelakakan dirinya?’” (Ibnu al-Qayyim, Ighâ-tsah al-Lahfân, 1/84, Maktabah Syamilah).

Ibnu al-Qayyim kemudian mengutip Al-Hasan al-Bashri rahimahulLâh yang berkata, “Sesungguhnya seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama ia memiliki penasihat dari dirinya sendiri dan muhâsabah (introspeksi diri) menjadi bagian dari perhatiannya.” (Ibnu al-Qayyim, Ighâ-tsah al-Lahfân, 1/78, Maktabah Syamilah).

Siapa saja yang obyektif mengevaluasi keadaan umat pada hari ini akan menyaksikan betapa mereka hari ini sangat terpuruk. Jauh dari predikat ’umat terbaik’. Hampir dalam semua hal kaum Muslim terbelakang, tertinggal dan tertindas oleh umat-umat lain.

Secara ekonomi, menurut Laporan Bank Dunia tahun 2000, dari 57 negara Muslim, 29 termasuk negara berpendapatan rendah atau terkategori miskin, 16 berpendapatan menengah ke bawah, delapan berpendapatan menengah ke atas dan hanya empat yang termasuk negara berpendapatan tinggi.

Padahal sebagian besar negeri Muslim kaya akan sumber daya alam. Indonesia, contohnya, kaya dengan tambang mineral seperti nikel dan emas. Ironinya, Bank Dunia melaporkan bahwa 60,3% penduduknya miskin. Seperti di Papua. Di sana PT Freeport sudah mengeruk ribuan ton emas sejak tahun 1967. Ironinya, semua propinsi di Papua termiskin secara nasional.

Di luar negeri, yang paling memilukan, darah umat dengan amat murah ditumpahkan oleh kaum kuffâr. Hari ini di Gaza, jumlah korban meninggal akibat genosida Zionis Yahudi sudah tembus di atas angka 55 ribu jiwa. Ratusan ribu anak-anak cacat. Lebih dari dua juta penduduk terancam kelaparan akibat blokade kaum zionis.

Derita juga dialami Muslim India, Myanmar, Xinjiang dan Yaman. Mereka hidup dalam tekanan para penguasa setempat. Terdiskriminasi. Kehilangan tempat tinggal. Dipisahkan dari keluarga. Teraniaya. Bahkan mengalami pembunuhan. Yang lebih menyedihkan, tak ada pembelaan nyata dari sesama negeri Muslim.

Alih-alih bersatu dan memberikan pertolongan, para penguasa Muslim malah bersekutu dengan imperialis Barat dan Zionis Yahudi. Mereka berkhianat. Mereka malah memfasilitasi kebutuhan AS dan Zionis Yahudi untuk menyerang Palestina dan Iran. Tidak ada lagi persatuan. Umat terpecah-belah.

Ketika negara Zionis Yahudi diserang, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat memberikan bantuan dan perlindungan. Bahkan AS balas mengebom Iran setelah Iran menyerang negara Zionis Yahudi. Negara-negara G7 juga mengutuk Iran sebagai biang kekacauan di Timur Tengah.

Sebaliknya, kaum Muslim yang berjumlah lebih dari dua miliar tidak mempunyai pelindung sama sekali. Padahal sebagian negeri Muslim memiliki pasukan dan kekuatan militer yang kuat. Namun, tak ada satu butir peluru pun ditembakkan ke arah Zionis Yahudi untuk membela saudara seiman. Bahkan sekadar membuka tapal batas untuk membiarkan bantuan pangan masuk pun sama sekali tidak mereka lakukan. Beginikah sikap para penguasa Muslim?

Hijrah dan Kekuasaan

Dari sini, penting bagi umat ini merefleksikan kondisi sekarang dengan sejarah mereka. Tentu agar umat menemukan jalan keluar dari keterpurukan ini. Sesungguhnya bukan tanpa alasan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. menetapkan awal Kalender Hijrah dimulai dari peristiwa Hijrah Nabi saw. Beliau menyatakan:

بَلْ نُؤَرِّخُ لِمُهاجَرَةِ رَسُوْلِ الله، فَإِنَّ مُهَاجَرَتَهُ فَرْقٌ بَيْنَ الْحَقِّ وَاْلبَاطِلِ

Akan tetapi, kita akan menghitung penanggalan berdasarkan Hijrah Rasulullah. Ini karena sesungguhnya hijrah beliau telah memisahkan antara kebenaran dan kebatilan (Ibn Al-Atsir, Al-Kâmil fî at-Târîkh, 1/3).

Hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa penting yang mengubah wajah umat Islam saat itu. Umat awalnya tertindas dan teraniaya di Makkah selama 13 tahun. Setelah hijrah ke Madinah dan menegakkan tatanan masyarakat yang islami dalam sebuah negara, mereka berubah menjadi umat yang mulia, kuat dan disegani.

Inilah makna hijrah yang hakiki. Sebagaimana dijelaskan oleh Ar-Raghib al-Ashfahany (w. 502 H), hijrah berarti keluar dari dârul kufr (wilayah yang menerapkan hukum-hukum kufur) menuju Dârul Îmân (wilayah yang menerapkan hanya hukum-hukum Islam) (Al-Ashfahâny, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, hlm. 833).

Makna hijrah seperti ini semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Al-Jurjâni (w. 471 H) dan al-Qurthubi (w. 671 H). Keduanya menyatakan: ”Hijrah adalah keluar atau berpindah dari negara yang diperangi (negara kufur) ke Negara Islam.” (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 5/349; Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, 1/83).

Hijrah Nabi saw. bersama para Sahabat bukanlah melarikan diri dari persoalan. Dengan hijrah, mereka justru menemukan solusi dengan membangun kekuatan dan kekuasaan yang melindungi agama ini. Ini sebagaimana permintaan Rasulullah saw. kepada Allah SWT dengan doanya:

رَّبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَٱجْعَل لِّى مِن لَّدُنكَ سُلْطَٰنًا نَّصِيرًا

Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar, serta berilah aku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong (TQS al-Isra’ [17]: 80).

Dalam tafsirnya, Az-Zamakhsyari menjelaskan: ”Dikatakan: Ayat ini turun ketika Nabi saw. diperintahkan untuk hijrah, yakni agar Allah memasukkan Nabi saw. ke Madinah dan mengeluarkan beliau dari Makkah. Dikatakan pula: Maksudnya adalah memasukkan Nabi saw. ke Makkah dalam keadaan menang saat penaklukan dan mengeluarkan beliau dari Makkah dalam keadaan aman dari kaum musyrik.” (Az-Zamakhsyari, Tafsîr Al-Kasysyâf, 2/688, Maktabah Syamilah).

Pembentukan negara yang berdaulat dan disegani serta memberikan perlindungan bagi umat adalah makna “Sulthân[an] Nashîra” (kekuasaan yang menolong). Kekuasaan ini telah diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi saw. dalam bentuk negara, sistem dan kekuasaan Islam (Negara Islam). Negara Islam inilah yang benar-benar menolong dan memenangkan Islam dan kaum Muslim. Pasca Nabi saw., Negara Islam ini—yang kemudian disebut dengan Khilafah Islam—menjadi negara adidaya di seluruh dunia sepanjang empat belas abad.

Kedigdayaan Khilafah Islam ini terus berlangsung di bawah kepemimpinan Khulafaur-Rasyidin dan para khalifah berikutnya. Para khalifah ini hanya menerapkan syariah Islam. Mereka juga terus berupaya meluaskan penyebaran Islam. Di bawah Khilafah Islamiyah kaum Muslim pun bersatu selama berabad-abad dalam ikatan ukhuwah islamiyah. Kekuatan kaum Muslim pun amat disegani. Para khalifah pada masa lalu selalu sigap membela dan melindungi kehormatan Islam serta kaum Muslim.

Seruan

Wahai kaum Muslim! Apakah Anda tidak menyadari bahwa musibah demi musibah yang deras menimpa umat terjadi akibat ketiadaan kekuasaan Islam yang menolong umat ini? Penguasanya orang-orang fâjir, boneka Barat dan menerapkan aturan hidup yang batil. Mereka mengajak umat untuk berpaling dari Islam menuju aturan hidup jahiliah: sistem demokrasi, paham nasionalisme dan ideologi sekularisme-kapitalisme. Padahal Allah SWT telah mengingatkan akibat berpaling dari ajaran Islam:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).

Karena itu mari kita ikuti apa yang telah dilakukan penghulu umat ini, Rasulullah saw., bersama para Sahabatnya yang mulia. Mereka hanya melaksanakan dan menerapkan syariah Islam dalam institusi kekuasaan Islam. Allah SWT pun memberi mereka kemuliaan dan pertolongan atas sikap mereka. Demikian sebagaimana janji-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang mereka perbuat itu (TQS al-A’raf [7]: 96).

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

Hikmah :

Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan (kepada Imam/Khalifah), maka ia akan bertemu dengan Allah pada Hari Kiamat dalam keadaan tidak mempunyai argumen apa-apa untuk membela diri. Siapa saja yang mati, sementara di lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka ia mati seperti keadaan orang jahiliah (dalam keadaan berdosa). (HR Muslim).

Comments (0)
Add Comment