Siapa Paling Berjasa Membangun Angkutan Umum Jakarta ?

Oleh: Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)

IKKELA32.COM SENIN 11/8/20205

Jakarta kini bukan lagi kota termacet di Indonesia. Berdasarkan Indeks TomTom Traffic 2024, ibu kota berada di peringkat kelima nasional dan ke-90 dunia, tertinggal di bawah Bandung, Medan, dan Palembang. Capaian ini bukan kebetulan, melainkan buah transformasi sistemik yang berjalan konsisten sejak 2004

Data tersebut membuka mata kita, angkutan umum telah menjadi tulang punggung mobilitas Jakarta. Dari TransJakarta 24 jam, trotoar manusiawi, hingga integrasi tarif antarmoda—semua adalah hasil estafet kepemimpinan yang saling melanjutkan. Lalu, siapa yang paling berjasa?

Jawabannya, bukan satu nama, melainkan rantai kolaborasi pemimpin yang berkomitmen pada satu visi.

Era Sutiyoso (2004–2007): Pendobrak Tradisi

Di awal 2000-an, Jakarta tenggelam dalam lautan kendaraan pribadi dan angkot tak teratur. Sutiyoso mengambil langkah revolusioner: meluncurkan TransJakarta Koridor 1—sistem Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia Tenggara. Ia juga meletakkan fondasi hukum melalui Pola Transportasi Makro (PTM), cetak biru yang menjadi DNA pengembangan transportasi ibu kota. Tanpa terobosan ini, Jakarta mungkin masih terperangkap dalam kemacetan abadi.

Era Fauzi Bowo (2007–2012): Konsolidasi dan Ekspansi

Fauzi Bowo (“Foke”) membuktikan kesinambungan kebijakan. Di bawah kepemimpinannya, Transformasi kelembagaan TransJakarta menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) memberi fleksibilitas operasional—langkah strategis yang sering luput dari sorotan. Foke memilih kerja sistemik sesuai latar belakangnya sebagai birokrat.

Era Joko Widodo (2012–2014): Revolusi Tata aturan hukum dan Pendanaan Berkelanjutan

Jokowi mengubah paradigma: angkutan umum bukan proyek, tapi layanan publik esensial. Ia mengamankan pondasi finansial melalui Perda Penyelenggaraan BRT, menjamin alokasi anggaran jangka panjang. Peremajaan armada, dan sistem kontrak operator berbasis Service Level Agreement (SLA) menjadi standar baru. TransJakarta beralih status menjadi BUMD, memperkuat akuntabilitas dan fleksibilitas respon pengembangan secara business wise. Lalu, pengalamam sebagai Walikota Surakarta telah menyelenggarakan Bus Tingkat Wisata, dilakukan untuk Kota Jakarta dengan membeli sejumlah bus tingkat untuk wisata kota. Donatur armada bus mulai bermunculan untuk operasional bus tingkat wisata. Trotoar dan jalur sepeda mulai dibenahi, ada kursi-kursi disiapkan di sejumlah trotoar bagi pejalan kaki yang akan beristirahat. Melakukan launcing MRT Jakarta phase 1 Lebak Bulus – Bundaran HI (15,8 kilometer) dan sekarang sedang dikerjakan phase 2 Bundaran HI – Ancol Barat (11,8 kilometer)

Era Basuki Tjahaja Purnama (2014–2017): Integrasi dan Demokratisasi

Ahok membawa terobosan radikal mengintegrasikan angkot ke dalam sistem BRT sebagai layanan feeder. Kebijakan ini menyatukan angkutan kecil dengan transportasi massal, sekaligus membuka akses bagi warga pinggiran. Membatasi gerak sepeda motor dengan melarang beroperasi di Jalan Jenderal Sudirman dan Thamrin. Visinya jelas, yakni mobilitas harus inklusif untuk semua kelas sosial. Bersama Joko Widodo meuntas 13 koridor TransJakarta terbangun, jaringan BRT merentang dari Taman Mini hingga Kalideres, Lebak bulus hingga Pulogadung. Menuntaskan 13 jalur busway hingga membangun jalur khusus jalan layang BRT (koridor 13). Metro Mini dan Kopaja sudah tergantikan dengan armada baru yang berpendingin. Tidak ditemukan lagi penumpang bergelantungan di angkutan umum.

Era Anies Baswedan (2017–2022): Humanisasi Ruang Kota

Anies menempatkan manusia sebagai pusat desain urban. Trotoar membentang sepanjang 500 km, jalur sepeda permanen menghubungkan pusat kota, dan kawasan integrasi antarmoda (seperti, Bundaran HI, CSW, Dukuh Atas) menjadi ruang hidup. Puncaknya, layanan terpadu JakLingko yang memperluas integrasi angkot yang sudah diupgrate tidak hanya dengan BRT tetapi juga MRT, LRT, TransJakarta, dan KRL dalam satu kartu.

Era Heru Budi & Pramono Anung (2022–sekarang): Integrasi Metropolitan

Di sinilah skala transformasi meluas secara dramatis. Gubernur Heru Budi Hartono dan dilanjutkan Gubernur Pramono Anung bersinergi menjawab tantangan terbesar mengintegrasikan Jabodetabek sebagai satu ekosistem transportasi.

Pramono Anung, melalui koordinasi nasionalnya, mendorong terobosan strategis, seperti (1) perluasan jaringan BRT TransJabodetabek yang menghubungkan Kota Bekasi–Cibinong–Bogor dan Tangerang–BSD–Bandara Soetta dengan membuka jalur Blok M – Perumahan Alam Sutera (Kota Tangerang Selatan), Blok M – PIK 2 (Kab. Tangerang), Cawang – Perumahan Vida (Kota Bekasi), Blok M – Botani Square (Kota Bogor), Dukuh Atas – Terminal Bekasi (Kota Bekasi), (2) penyelesaian integrasi tarif regional menggunakan kartu JakLingko, memangkas biaya dan waktu perpindahan antarmoda, (3) kebijakan insentif fiskal untuk pemerintah daerah penyangga yang mengembangkan BRT feeder , (4) menggratiskan 15 golongan warga Jakarta menggunakan Bus Transjakarta.

Hasilnya nyata, volume kendaraan pribadi masuk Jakarta turun 18 persen (2023–2025), dan waktu tempuh Bekasi–Jakarta berkurang 40 menit. Angkutan umum di Jakarta telah mengcover 89,5 persen wilayah Jakarta. “Inilah esensi Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKJ): menjadi katalisator mobilitas metropolitan,” tegas Pramono Anung dalam Rakornas 2024.

Refleksi: Estafet yang Mengubah Takdir
Seperti disampaikan Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto, “Keberhasilan Jakarta adalah bukti transportasi umum hanya bermakna ketika kebijakan tak terputus oleh siklus politik.

Pelajaran untuk Seluruh Kepala Daerah
1. Kesinambungan adalah kunci. Kebijakan transportasi membutuhkan waktu lebih 10 tahun untuk berbuah.
2. Integrasi mengalahkan proyek mercusuar. Penyatuan angkot, bus, dan rail lebih berdampak daripada pembangunan moda tunggal.
3. Kolaborasi lintas batas wajib hukumnya. Seperti Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung tunjukkan, isu metropolitan butuh koordinasi pusat-daerah.

Cita-cita Indonesia Emas 2045 menuju Indonesia Maju. Semua negara maju, pasti transportasi umumnya bagus. Oleh sebab itu, bercermin dengan Kota Jakarta yang telah berhasil membenahi angkutan umum seperti sekarang butuh waktu 20 tahun, maka 20 tahun lagi tahun 2045, mulai sekarang pemerintah harus serius urus transportasi umum, supaya tidak hanya khayalan, namun jadi kenyataan.

Ada 514 pemda se Indonesia, baru 33 pemda yg alokasikan APBD untuk operasional transportasi umum.

Tidak ada kota yang gagal membangun transportasi umum karena kurang dana, melainkan karena kurang keberanian untuk melanjutkan .

Masyarakat Transportasi Indonesia

Comments (0)
Add Comment