Polemik Royalti Musik, HILMI Tawarkan Solusi Masuk Akal

Oleh : Zainul Krian

DEPOK IKKELA32.COM  4/9/2025 — Di tengah polemik menahun terkait pengelolaan hak cipta dan royalti musik di Indonesia yang dianggap masih karut-marut, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) menawarkan solusi tata kelola yang lebih masuk akal.

“Tulisan ini membahas isu tersebut dari perspektif syariat Islam, hukum internasional, praktik di Indonesia, serta menawarkan solusi tata kelola yang lebih masuk akal,” tulis HILMI dalam rilis Intellectual Opinion No. 013: Mendudukkan Royalti Hak Cipta (25/8/2025).

Sebelumnya, HILMI menegaskan hak cipta musik sah menurut syariah dan hukum positif. Namun, tata kelola di Indonesia memang masih bermasalah.

“Hak cipta musik sah menurut syariah dan hukum positif. Namun, tata kelola di Indonesia bermasalah,” tandasnya, seraya memaparkan setidaknya lima poin usulan tata kelola yang rasional dan tentu saja syar’i.

Pertama, monitoring real-time dengan audio fingerprinting, yang berarti memantau suatu suara secara langsung (saat itu juga) dan secara otomatis mengidentifikasinya menggunakan sidik jari audio yang unik, seperti mengidentifikasi lagu yang sedang diputar atau suara lingkungan tertentu.

Kedua, penerapan blockchain smart contract untuk pembagian otomatis. Artinya, kode digital yang berjalan di blockchain secara otomatis membagi pendapatan royalti kepada pemegang hak (artis, penulis lagu, dll.) setiap kali sebuah lagu diputar maupun streaming.

Dengan kata lain, kontrak ini memastikan pembayaran yang transparan, cepat, dan langsung ke dompet digital pemegang hak, tanpa memerlukan perantara seperti bank atau label rekaman, dan mengurangi biaya serta potensi manipulasi. Ketiga, pemanfaatan lagu pada kegiatan keagamaan/pendidikan dikecualikan dari royalti.

Keempat, lisensi syariah untuk karya dakwah/edukasi (wakaf ilmu) yang tidak secara langsung merujuk pada lisensi penggunaan karya seperti yang umum dipahami dalam hukum hak cipta, melainkan lebih berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pengelolaan harta wakaf yang hasilnya digunakan untuk tujuan dakwah dan edukasi.

Kelima, untuk menjamin musisi indie tetap mendapat porsi, maka digunakan konsep long tail system, sebuah model bisnis dan strategi pemasaran yang berfokus pada penjualan produk dalam jumlah besar yang bervariasi, bukan hanya produk-produk populer yang terjual dalam volume tinggi.

Dengan konsep ini, terangnya, total pendapatan dari banyak produk yang kurang populer bisa saja melebihi pendapatan dari sedikit produk yang populer. Sebab banyaknya variasi tersebut dapat menjangkau banyak ceruk pasar yang spesifik.

Lantas, selain sah dalam sudut pandang syariah, HILMI menambahkan, hak cipta dianggap haqq mālī (dalam bahasa Arab secara harfiah berarti “hak atas harta” atau “hak kepemilikan harta”) yang bisa dimiliki, dijual, dan diwariskan. Penjualan buku, rekaman atau software secara retail, misalnya, tidak dapat dikatakan penjualan hak cipta secara keseluruhan.

Sedangkan royalti dianalogikan dengan akad ijarah manfa‘ah (sewa manfaat karya). Namun, blanket license tanpa objek yang jelas, akan berpotensi gharar (ketidakjelasan). Sementara, prinsip syariah menekankan akad harus jelas, manfaat terukur, distribusi adil.

Comments (0)
Add Comment