IKKELA3.COM (9/10/2025)
Pertemuan empat mata antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo di kediaman pribadi Presiden Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta, pada 4 Oktober 2025, menjadi peristiwa politik yang menarik perhatian publik. Dalam suasana penuh kehati-hatian menjelang konsolidasi kabinet baru, pertemuan tersebut dinilai sebagai upaya mencairkan ketegangan politik antara dua kutub kekuasaan—kelompok relawan Projo yang masih loyal pada Jokowi dan barisan pendukung politik konstitusional yang kini menaruh harapan besar pada kepemimpinan Prabowo.
Tak lama berselang, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) dipanggil ke istana. Pemanggilan ini menimbulkan tafsir politik baru, terutama di tengah menguatnya kembali isu lama: keaslian ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Publik menilai, langkah ini merupakan bagian dari klarifikasi institusional atas isu yang berpotensi mempengaruhi wibawa pemerintahan baru.
Polarisasi yang Tak Kunjung Usai
Isu ijazah Gibran bukan sekadar soal administratif. Ia berubah menjadi bahan perdebatan publik yang mencerminkan polarisasi politik antara loyalitas personal dan supremasi konstitusi. Di satu sisi, kelompok relawan Jokowi masih berusaha mempertahankan narasi bahwa legitimasi politik Gibran sudah final melalui pemilu. Di sisi lain, kelompok masyarakat sipil dan sebagian kalangan hukum menuntut transparansi penuh sebagai bentuk penghormatan terhadap integritas pejabat publik.
Fenomena ini menunjukkan betapa politik kita masih terjebak dalam personalisasi kekuasaan. Publik dipertontonkan pada perdebatan tentang figur, bukan sistem; tentang loyalitas, bukan akuntabilitas. Energi bangsa tersedot pada isu yang seharusnya bisa diselesaikan melalui mekanisme hukum dan tata kelola pemerintahan yang transparan.
Kepemimpinan Nasional dalam Ujian
Presiden Prabowo kini menghadapi ujian kepemimpinan yang sesungguhnya. Di satu sisi, ia harus menjaga stabilitas nasional dan keutuhan koalisi besar. Di sisi lain, ia harus menunjukkan bahwa pemerintahannya berdiri di atas supremasi hukum dan konstitusi, bukan di bawah bayang-bayang loyalitas politik masa lalu.
Pemanggilan Menristek Dikti pasca pertemuan Prabowo–Jokowi dapat dibaca sebagai sinyal bahwa Presiden Prabowo ingin menempatkan persoalan ijazah Gibran secara proporsional. Jika langkah itu diarahkan untuk memastikan keabsahan dokumen pejabat negara melalui jalur institusional, maka itu merupakan bentuk kepemimpinan yang sehat dan konstitusional. Tetapi jika pemanggilan tersebut hanya dimaknai sebagai gestur politis, maka akan memperpanjang ketegangan publik dan menggerus kepercayaan terhadap pemerintah baru.
Kepemimpinan nasional yang kuat bukan diukur dari kemampuan mengendalikan narasi, melainkan dari keberanian menegakkan integritas tanpa pandang bulu. Di sinilah publik menunggu arah nyata dari Presiden Prabowo untuk menegaskan garis demarkasi antara politik relawan dan politik konstitusi.
Refleksi atas Sistem Pemilihan Langsung
Kisruh seputar keabsahan ijazah Gibran, ditambah dengan biaya tinggi dan polarisasi ekstrem dalam pemilu langsung, telah memunculkan kembali wacana untuk mengembalikan sistem pemilihan presiden oleh MPR RI. Argumen utamanya ialah bahwa sistem pemilihan langsung selama dua dekade terakhir telah menimbulkan efek samping serius: politik uang, kampanye biaya tinggi, relawan berbasis figur, dan fragmentasi sosial yang mendalam.
Sistem pemilihan oleh MPR diyakini sebagian kalangan sebagai alternatif untuk menegakkan kembali politik rasional dan konstitusional. Dalam sistem tersebut, kriteria kelayakan administratif dan moral calon presiden/wakil presiden akan diuji oleh lembaga negara, bukan oleh opini publik yang mudah dipengaruhi hoaks dan polarisasi.
Namun, gagasan ini juga tidak boleh dijadikan alat untuk mengembalikan dominasi partai politik tanpa reformasi mendasar. MPR baru akan efektif bila fungsi representasi rakyat diperkuat melalui keberadaan DPD RI yang sejajar dengan DPR, sehingga keseimbangan kepentingan nasional dan daerah benar-benar terjamin.
Supremasi Konstitusi sebagai Jalan Tengah
Baik sistem pemilihan langsung maupun sistem MPR, keduanya hanya instrumen. Yang paling penting adalah roh konstitusi: kejujuran, akuntabilitas, dan integritas pejabat publik. Ketika pejabat negara berani membuka data akademik, laporan harta kekayaan, dan rekam jejaknya secara transparan, maka rakyat akan percaya bahwa kekuasaan dijalankan berdasarkan hukum, bukan rekayasa politik.
Presiden Prabowo perlu menjadikan isu ijazah Gibran sebagai momentum pembenahan tata kelola pemerintahan dan etika publik. Pemanggilan Menristek Dikti harus dipahami bukan sebagai tekanan, tetapi sebagai langkah konstitusional untuk memperkuat kepercayaan publik. Langkah ini bisa menjadi contoh nyata bahwa kepemimpinan nasional berada di bawah supremasi hukum, bukan di atasnya.
Arah Baru Politik Nasional
Jika pemerintahan Prabowo mampu memisahkan antara loyalitas personal dan tanggung jawab konstitusional, maka era baru politik Indonesia dapat dimulai. Era di mana relawan kembali ke ranah sosial, partai politik fokus di legislatif, dan lembaga negara bekerja sesuai mandat konstitusi. Dalam tatanan ini, MPR bukan lagi sekadar forum seremonial, tetapi menjadi penjaga moral dan arah ideologis bangsa.
Isu ijazah Gibran mungkin tampak sepele, tetapi dampaknya meluas hingga ke jantung legitimasi pemerintahan. Polarisasi sosial yang terus dipelihara oleh narasi politik figur hanya akan mengaburkan cita-cita bernegara yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Penutup
Polarisasi isu ijazah Gibran hendaknya tidak lagi dilihat sebagai serangan personal, tetapi sebagai ujian kedewasaan politik bangsa. Apakah Indonesia siap menegakkan supremasi konstitusi, atau tetap terjebak dalam politik personal dan loyalitas kelompok?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah reformasi politik nasional. Jika kita memilih kembali ke sistem MPR, maka harus dipastikan bahwa MPR adalah lembaga yang berdaulat, independen, dan moral. Namun jika sistem langsung tetap dipertahankan, maka integritas pejabat publik harus dijaga dengan transparansi total.
Kepemimpinan nasional di bawah Presiden Prabowo kini berada di persimpangan sejarah. Momentum pemanggilan Menristek Dikti dan pertemuan Prabowo–Jokowi di Kertanegara harus dimanfaatkan bukan untuk rekonsiliasi semu, tetapi untuk menegaskan kembali supremasi konstitusi sebagai panglima tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.